Ketersinggungan adalah salah satu topik dan fenomena yang bagi saya sangat menarik untuk diulik. Mengapa menarik? Banyak alasan, namun salah satu di antaranya adalah karena Random.

Dalam beberapa kasus ketersinggungan yang saya dengar dan baca, terkadang perasaan tersinggung bisa hinggap pada seseorang karena sebab yang sebetulnya tak layak dijadikan sebagai alasan untuk tersinggung.

Salah satu contoh kasus yang pernah terjadi adalah seorang pelanggan ojol  tersinggung dengan panggilan “kak” yang disematkan padanya.

Saya tidak akan meneropong pada aspek moralitasnya, melainkan penekanan pada, kok bias sih “segampang” itu tersinggung? Kok bisa hal seremeh itu menjadi alasan orang untuk tersinggung?

Memilih untuk Tidak Tersinggung, Why Not?

“Offense is taken, not given. (Ketersinggungan itu diambil, bukan diberi). Mungkin kalimat ini sudah tidak asing lagi di kuping kita. Terlepas dari benar atau salahnya kalimat tersebut, bagi saya kalimat itu dapat lebih mempermudah kehidupan kita. Kita jadi bisa menghemat tenaga yang kita miliki, sebab tidak perlu capek-capek menghabiskannya karena memilih untuk tersinggung.

Bagi mereka yang tersinggung, alasan yang sering kali dikemukakan adalah karena ada suatu serangan yang mengancam dirinya, sehingga ia menjadi tersinggung. Padahal ia dapat memilih untuk tidak tersinggung, yakni dengan cara menganggap alasan yang membuat ia tersinggung itu bukanlah suatu hal yang mengancam.

Hal ini cukup mengganggu saya. Dalam tulisan ini saya ingin berbagi cerita dan cara supaya kita tidak terlalu gampang tersulut sumbu ketersinggungan. Salah satu caranya ialah dengan memahami kontingensi dari pemikiran seorang Filsuf Eksistensialis, Jean-Paul Sartre.

Kontingensi?

Tak ada definisi mutlak dari kontingensi ini, melainkan “berubah-ubah, selalu menjadi, tidak absolut”. Tiga hal tersebut saya rasa cukup untuk mewakili maksud saya dalam tulisan ini.

Jean-Paul Sartre atau yang akrab dengan panggilan Sartre, hadir dengan suatu aliran filsafat yang dinamainya sendiri; Eksistensialisme.

Dalam batang tubuh filsafatnya, mencuat sebuah istilah, yaitu “kontingensi’. Bila kita memiliki pemahaman yang baik akan kontingensi ini, maka kita tidak akan mudah menganggap suatu hal sebagai ancaman atau menganggu ketentraman diri. Sehingga kita tidak perlu membuang-buang tenaga untuk tersinggung, lebih-lebih emosi karenanya.

Perjalanan Sartre Menemui Kontingensi

21 Juni 1905, Jean-Paul Charles Eymard Sartre lahir, namun sebelum genap 12 bulan Sartre sudah yatim. Kemudian Sartre tinggal bersama ibu dan keluarga dari ibunya. Ketika tinggal di kediaman ibunya di Paris, ia menjelma menjadi pusat perhatian dan pujaan keluarga ibunya, terutama oleh kakeknya. Ia sangat banyak mendapatkan perhatian dan pujian itu dari kakeknya.

Apabila pujian yang didapatnya itu diibaratkan dengan makan, mungkin Sartre sudah sampai pada tahap kenyang hingga begah mengonsumsi perhatian dan pujian dari kakeknya. Hal itulah yang membuatnya menjadi pribadi dengan tingkat percaya diri yang tinggi.

Dengan rambut pirangnya yang panjang dan bergelung-gelung, ia dengan cepat menyadari sisi ketampanan yang ada pada dirinya, hingga suatu saat kakeknya membawanya ke tempat pangkas rambut. Sepulang dari itu, terjadilah suatu bencana.

Dalam Les Mots Sartre menjelaskan peristiwa tersebut tanpa eufemisme: “Saat diambil dari ibunya dia masih menakjubkan, tetapi saat dikembalikan kepadanya ia menjadi seekor kodok”.

Itulah perjumpaan pertama terhadap “kejelekan” dirinya, dikarenakan perawakan serta rupanya telah menyerupai seekor kodok.

Namun, ketika Sartre dewasa, ia menilik kembali situasi saat itu dan menemukan bahwa “Tampan dan jelek” lahir akibat l’autre atau (Orang Lain). Padahal bila ditelusur lebih dalam, “Tampan dan jelek” tidak bermakna apa-apa terhadap dirinya dan saling menganulir karena hal itu bersifat kontingen.

Sartre berpendapat, bahwa ketika kita diobjekkan oleh orang lain, kita harus sadar bahwa objektivasi yang sedang dilakukan pada kita hanyalah sesuatu yang kontingen belaka, hanya satu dari jutaan kemungkinan lain. Kita masih bisa menjadikan diri kita sesuai dengan apa yang kita inginkan, bukan sesuai dengan apa yang secara kontingen orang lain sematkan pada kita.

Ada sedikit cerita menarik dan disitulah Sartre mempertontonkan, betapa ia sangat tidak peduli terhadap penilaian orang lain.

Suatu ketika ia mengajar sebagai guru filsafat di sebuah SMA khusus laki-laki di kota Le Havre. Salah satu mantan muridnya, Jean Gustiniani, merasa sangat bersyukur dapat diajar oleh Sartre, “Saya selalu masih ingat Sartre guru kami, berbadan kecil, dengan pipa di tangan mengumumkan di depan kelas: ‘Sekarang kalian boleh merokok di kelas’. Belum pernah ada hal seperti itu di tempat kami. Kaum borjuis langsung melihat bahaya di depan mereka.”

Sartre pun berdiskusi dengan murid-muridnya layaknya teman sebaya. Ia berdiskusi sambil minum bir dan bahkan pergi ke rumah bordil tanpa perlu sembunyi-sembunyi dari muridnya.

Kontingensi sebagai Upaya Mengatasi Ketersinggungan

Sartre memperlihatkan bahwa kita bebas untuk memilih. Bagaimana kita akan mencitrakan diri kita sendiri, penilaian orang lain hanyalah hal yang melekat sementara, yang dapat kita ubah kembali kapan pun dan bagaimana pun sesuai yang kita inginkan.

Oleh sebab itu, janganlah buang-buang tenaga untuk memilih atau merasa tersinggung. Karena, apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang menyinggung itu hanyalah hal yang bersifat kontingen, yaitu hal yang akan selalu berubah, menjadi, dan tidak absolut.