Dalam mencegah korupsi, “yang paling efektif itu adalah diri kita sendiri. Tidak ada orang yang bisa mengendalikan kita selain diri kita sendiri,” ujar Juliari Batubara ketika menyampaikan pandangannya terkait korupsi pada Hari Anti Korupsi Sedunia 9 Desember 2019 lalu. Setahun kemudian, siapa yang mengira, ia menjadi tersangka kasus korupsi Dana Bantuan Sosial (Bansos) Covid-19 dengan nilai Rp. 17 miliar. Ia pun menyerahkan diri kepada KPK pada 6 Desember kemarin.

Korupsi dan Penderitaan Orang Lain

Selang 2 hari kemudian, 1,230 km dari Jakarta, tepatnya di Dusun II, Desa Banua Sibohou, Kecamatan Namohalu Esiwa, Kabupaten Nias Utara, seorang ibu berusia 30 tahun secara sadis membunuh tiga anak kandungnya yang masih balita di hari di mana pilkada digelar serentak. Hal ini tentu hanya dianggap angin lalu saja oleh mereka yang kini sedang menikmati euforia kemenangannya di daerah itu. Padahal, motifnya berkaitan dengan ketidakbecusan negara, yakni frustrasi karena keadaan ekonomi yang semakin menghimpit sang Ibu.

20 hari sebelum kejadian nahas ini menimpa ketiga balita laki-laki tersebut, di Hawaii, seorang Menteri Kelautan dan Perikanan bersama istrinya sedang membelanjakan uang hasil jerih payah korupsinya dengan membeli barang-barang merek ternama. Tas Louis Vutton, jam tangan Rolex, hingga baju Old Navy mungkin adalah barang-barang yang terdengar asing bagi si Ibu yang berprofesi sebagai petani di Nias Utara itu.

Kita bisa berdebat mengenai kondisi kesehatan mental si Ibu sampai-sampai ‘ringan tangan’ saja untuk menghabisi anak-anak yang bahkan belum tahu apa-apa tentang dunia ini. Tetapi, yang jarang dibicarakan oleh pejabat yang sering mengucapkan belasungkawa pada orang-orang seperti Ibu di Nias Utara itu; adanya jarak yang kelewat jauh antara penguasa dan keluarga yang berharap pada mereka.

Jarak ini sama dengan jarak yang memisahkan ribuan demonstran dengan gedung perwakilan rakyat; dekat sekali, namun suara mereka tidak terdengar atau pura-pura tidak didengarkan. 

Kini, belum habis dihajar pandemi, dana bansos yang dikorupsi, keluarga-keluarga yang tak tersentuh penguasa ini harus berjibaku untuk memilih pemimpin (lagi) yang belum tentu bersedia mengurus mereka jika terpilih. Andai orang-orang baru ini memimpin, Anda, atau saya, tentu saja berhak untuk pesimistis meski sudah digelontori serangan fajar oleh mereka. Mereka membual tentang layanan pendidikan dan kesehatan yang gratis, hukum yang egaliter, sambil merancap dan memikirkan modal yang harus mereka kembalikan.

Hidup: Antara Komedi dan Tragedi

“Bagi orang kaya, hidup adalah komedi. Bagi orang miskin, hidup adalah tragedi,” ucap Sholom Aleichem, seorang penulis sastra Yiddish klasik. Yiddish merupakan bahasa Germanik yang dituturkan oleh lebih 4 juta jiwa umat Yahudi di Eropa Timur. Kita sama-sama tahu bagaimana akhir dari nasib kaum Yahudi ketika masih berada di Eropa.

Holokaus barangkali dianggap biasa saja oleh Adolf Hitler. Brian Levin, dari Center for Study of Hate and Extremism, California University, menyebut bahwa ada satu juta anak yang terbunuh dalam tragedi kelam kemanusiaan tersebut. Total kematian orang Yahudi akibat Holokaus, menurut United Holocaust Memorial Museum, disinyalir mencapai 6 juta orang.

Covid-19 mungkin terdengar tidak seekstrem Holokaus. Akan tetapi, kita bisa setuju pada satu hal; nilai kehidupan yang dirampas oleh Holokaus maupun nilai kehidupan yang dirampas oleh Covid-19 adalah sama.

Mereka adalah makhluk hidup yang mempunyai perasaan, sahabat, keluarga yang dicintai serta memori-memori bisu mengenai betapa indahnya hidup ini. Barangkali, mimpi mereka bukan untuk menjadi manusia unggulan atau membangun perekomian negara atau hal-hal ambisius yang sering dibualkan oleh negara. Mereka hanya menginginkan sesuatu yang betul-betul sederhana. Menikmati hidup sebagaimana adanya.

Editor: Nirwansyah