Selain sebagai negara maritim, Indonesia juga merupakan negara agraris. Hal ini dilatarbelakangi kondisi geografis Indonesia yang daratannya dilimpahi oleh luasnya lahan yang subur, juga potret sosial ekonomi masyarakat yang mayoritas memiliki mata pencaharian sebagai petani. Pernah mendengar istilah gemah ripah loh jinawi? Istilah tersebut merupakan semboyan negara Indonesia yang mengandung makna betapa kaya raya alam Indonesia. Secara bahasa gemah ripah loh jinawi adalah tentram dan makmur serta sangat subur tanahnya.

Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa dunia kagum dengan alam Indonesia. Alam yang tidak saja menampakkan indahnya laut dan suara debur ombak, melainkan juga alam yang hijau nan asri sebab terdapat banyak sawah dan kebun beserta tumbuh-tumbuhannya. Indonesia pula adalah tanah surga katanya, ketika tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Masyarakatnya pun penuh dengan kesungguhan ketika menapaki jalan-jalan di pematang sawah. Menanam padi dan kawan-kawannya demi memenuhi lumbung kehidupan.

Peran Pertanian dalam Sejarah Indonesia

Dahulu pada zaman presiden Soeharto, pertanian adalah sektor yang diutamakan dalam sendi kehidupan bernegara. Presiden berupaya meningkatkan ketahanan pangan sebagai tiang pembangunan pada masa pemerintahannya tanpa harus melakukan impor. Upayanya tersebut pun pada akhirnya mengantarkan Indonesia sebagai negara swasembada beras pada waktu itu. Demi mewujudkan tekadnya, Pak Harto banyak membangun infrastruktur pertanian. Seperti perbenihan, pembangunan irigasi pertanian dan pengendalian hama.

Selain itu, sebagai wujud kesungguhannya dalam memajukan sektor pertanian, Pak Harto juga mengembangkan sumber daya manusia agar kelak pintar dan dapat diandalkan di bidang Pertanian. Hal tersebut dimulai Pak Harto dengan menyiapkan institusi pendidikan yang kelak menghasilkan sarjana-sarjana Pertanian. Tenaga pendidik dan fasilitas disiapkan, dana pun digelontorkan. Tidak lain demi terciptanya generasi muda yang unggul dan mengunggulkan sektor Pertanian. Tentu ini disebabkan pentingnya jurusan pertanian itu sendiri. Tanpa pertanian, ketahanan pangan akan lemah bahkan dunia ditimpa kelaparan.

Maka sebagai negara agraris, Indonesia sudah selayaknya menempatkan diri menjadi sumber pangan dunia. Begitu kira-kira upaya pemerintah dalam mengatur mindset masyarakat. Maka menjadi tidak heran jika jurusan pertanian adalah jurusan yang dianggap bergengsi dan prestise pada masa itu. Demikian pula dengan lulusannya yang disegani dan diandalkan banyak orang.

Jangan Pandang Remeh Jurusan Pertanian

Tidak seperti dulu, saat ini jurusan pertanian lebih banyak dianggap remeh dan mendapat diskriminasi dari sebagian orang. Katanya, jurusan pertanian itu tempatnya anak-anak kotor, sebab harus berbaur dengan tanah dan pupuk. Katanya lagi, lulusan pertanian kerjanya di sawah, sebab dianggap bahwa ruang kerja pertanian hanya sebatas di sawah. Kemudian ada juga yang mengatakan bahwa belajar di pertanian itu bertanam, nyawah dan nraktor. Dan pernyataan-pernyataan lain yang tidak jarang membuat kesal dan nelangsa di hati para calon sarjana pertanian.

Namun sebetulnya jika dipikir lebih jauh lagi, pernyataan-pernyataan tersebut tidak pantas untuk dirisaukan. Lontaran pernyataan tersebut justru menggambarkan bahwa yang berbicara demikian belum paham dan belum berwawasan luas mengenai apa dan bagaimana jurusan pertanian itu.

Sebagai mahasiswa yang hampir empat tahun ini kuliah di pertanian, saya sudah belajar banyak dan melewati berbagai suka dan duka. Jika boleh dikatakan, mahasiswa pertanian sebenarnya adalah mahasiswa yang sangat sibuk. Rutinitasnya bukan sekedar kuliah di kelas. Namun lebih daripada itu.

Selain aktifitas perkuliahan, ada pula rutinitas praktikum yang juga dilaksanakan hampir setiap hari. Terutama bagi mahasiswa pertanian bidang eksakta. Praktikum pun tidak hanya dilakukan di kebun percobaan saja, melainkan juga di laboratorium. Dan sebagai buntut dari praktikum itu sendiri, setiap praktikum yang telah dilaksanakan harus ada laporan dalam bentuk tulisan terstruktur. Padahal dalam satu hari saja ada dua praktikum. Belum lagi dengan tugas-tugas perkuliahan yang lainnya.

Pun belajar di pertanian tidak sesederhana itu. Menanam, memelihara, merawat, sampai dengan memanen tidak semudah yang dibayangkan. Semua itu butuh ilmu yang cukup kompleks serta praktek yang telaten. Itu baru sebatas soal tanaman. Sedangkan yang dipelajari masih jauh lebih banyak. Ada teknologi pangan, proteksi tanaman, mikrobiologi, rekayasa tanaman, hingga ilmu tanah. Semua itu adalah beberapa ilmu yang dipelajari oleh mahasiswa pertanian.

Jadi, sekali lagi tidak benar ya jika kompetensi mahasiswa pertanian hanya sebatas nyawah apalagi nraktor. Semua hal yang dipelajari di pertanian tidak lain pada akhirnya akan bermuara kepada satu kekuatan, yakni ketahanan pangan. Inilah cita-cita setiap negara di dunia.

Kuliah di Pertanian, Mau Jadi Apa?

Pada intinya, kampus merupakan institusi pendidikan yang didalamnya terkandung insan-insan calon generasi penerus bangsa. Fakultas dan program studi yang ditawarkan semuanya baik. Tidak ada yang buruk dan tidak ada pula yang lebih baik. Sebab sendi-sendi negara tidak hanya berisikan politik dan ekonomi, melainkan juga pendidikan, kesehatan, sosial, pangan, dan sebagainya. Maka dari itu, diskriminasi kepada salah satu jurusan adalah suatu tindakan yang tidak relevan dengan zaman.

Pada tahun 2050, diperkirakan penduduk dunia akan bertambah dua milyar. Pada saat itu, sektor pangan pasti akan lebih pesat digalakkan. Namun mengapa jurusan pertanian justru mengalami diskriminasi? Jadi, marilah mulai berpikir terbuka serta dukung dan berbuat adil kepada para pewaris tahta negeri. Jangan pandang remeh, apalagi diskriminasi. Bahkan jika perlu, bantulah kami dengan pemenuhan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan.  Dan terakhir, jika ditanya kuliah di pertanian mau jadi apa? Maka jawabannya adalah mewujudkan cita-cita dunia. Menuju ketahanan pangan yang berkelanjutan.