Daripada sakit hati
Lebih baik sakit gigi ini
Biar tak mengapa
Rela rela rela aku relakan

Pecinta musik dangdut pasti sudah familiar dengan cuplikan lirik di atas. Yap, itu adalah reff lagu “Lebih Baik Sakit Gigi” kepunyaan Meggy Z. Dari cuplikan liriknya saja, apakah kalian sepakat? 

Saya nggak yakin Pak Meggy Z menulis lagu ini berdasarkan pengalaman pribadi. Kalau iya, bagaimana bisa beliau membandingkan sakit hati dengan sakit gigi? Wong letaknya saja berjauhan kok ya, nggak apple to apple dong. 

Gini, biar saya jelasin. Hati itu letaknya di organ dalam tubuh manusia, sedangkan gigi ada pada gerbang jalur pencernaan makanan yaitu mulut.

Orang yang sakit hati, ketika dibawa ke dokter tidak akan ketahuan bagian hati atau livernya yang patah maupun sekedar lecet. Tapi mereka akan terus mengaduh selagi hatinya belum sembuh. Berbeda dengan pengidap sakit hati, orang dengan sakit gigi tanpa ke dokter saja dia bisa kelihatan gusinya bengkak, gigi berlubang, berdarah, dan sebagainya.

Akan tetapi, hal itu tidak bisa menjelaskan bahwa lebih baik sakit hati dibanding sakit gigi bukan? Sampai di sini paham? 

Penyebab Sakit Gigi dan Sakit Hati

Sakit gigi itu jelas sekali indikasinya, pun penyebabnya. Penyakit kasat mata yang tidak mengada-ada. Efek kurang menjaga kebersihan dan kesehatan gigi, bisa fatal sekali akibatnya. Salah makan sedikit, gigi langsung nyeri. Makan sembarangan, biji cabai bisa masuk lubang. Mau yang dingin-dingin dan minum es, gigi langsung ngilu. Kalau sudah begitu, auto kesulitan makan, jadinya nggak nafsu, sakit lambung muaranya. 

Bukankah penyakit lambung sangat beresiko ke depannya? Apalagi kalau dibiarkan kelamaan. 

Nah, kalau sakit hati sendiri biasanya disebabkan tiga indra manusia.

Pertama, mata. Indra penglihatan ini sangat beresiko membikin nyeri hati. Entah memergoki pasangan selingkuh di depan mata, whatsapp yang diabaikan terus-terusan, atau melihat kesewenang-wenangan pemerintah terhadap negara dan rakyatnya sendiri. Ehh. 

Kedua, telinga. Sama yang terjadi dengan mata, telinga manusia suka mendengar hal-hal aneh yang berpotensi membuat sakit hati. Mendengar tetangga bergunjing tentang kita, dan kabar pengesahan kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat misalnya. Aduhh. 

Ketiga, mulut. Sebab mulutmu harimaumu, indra yang amat tajam ini bisa menyayat hati orang lain dan sulit sekali pula meralatnya, lho. 

Bukankah cukup jelas variasi keduanya yang tetap sama-sama menyakitkan? 

Sakit Hati Tidak Ada Obatnya

Seperti laiknya pengidap sakit lain, orang yang sakit gigi juga hati, nafsu makannya berkurang, pun nafsu bersosialisasi. Rongga mulut yang sakit, membuat pengidap susah berbicara. Apalagi khawatir jika aroma mulutnya terlalu semerbak. Saat sakit hati, rasanya tiada hal lain yang ingin dibicarakan selain alasan-alasan pengkhianatan. 

Seluruh energi kehidupan hanya akan berfokus pada nyeri di gigi dan hati. Susah tidur, tidak ingin diganggu, hanya menginginkan suasana yang tenang, serta tak mampu memikirkan permasalahan lain. Bahkan disodorkan Indomie dan drakor pun tetap memilih bantal (meskipun hanya rebahan dan merutuki diri sendiri). 

Jika sudah demikian, komunikasi dengan orang sekitar pun terganggu. Pengidap keduanya menjadi sangat sensitif. Orang lain salah sedikit saja, anda sekalian bisa langsung kena terkam. 

Tentu semua penyakit ada obatnya, namun perlu sedikit (bahkan banyak) usaha di sana. Seperti halnya membeli baju di toko, menemukan obat sakit gigi tidak semudah yang dibayangkan. Tidak bisa langsung cocok. Dari merk A sampai B, apotek C sampai D, dokter ini dan itu, atau pengobatan tradisional dari yang alami hingga ritual aneh. Semuanya memiliki peluang yang tak pasti, sampai akhirnya hanya berpasrah pada Tuhan. 

Beda lagi ceritanya dengan sakit hati. Berdasarkan pengamatan saya, obat sakit hati sama tak tentunya. Tidak bisa mencari di apotek dan dokter, hanya saja perlu sentuhan psikologis. Meditasi, mencoba memaafkan diri sendiri dan tentunya orang lain. Cara ini juga memerlukan beberapa waktu. 

Kalau sudah sembuh, sakit semacam itu bisa menimbulkan kewaspadaan. Menjadi lebih berhati-hati percaya pada orang lain, menjaga sikap dan klarifikasi sehingga tidak terjadi miskomunikasi. Termasuk pada mantan pengidap sakit gigi, tidak ada jaminan akan sembuh total sehingga tetap perlu menjaga kondisi.

.

Sampai di sini sudah cukup jelas bukan bahwa tidak ada opsi yang lebih baik? Keduanya sama-sama menyedihkan dan membuat sengsara. 

Sekali lagi, mohon maaf dengan sangat Pak Maggy Z. Bagaimana pun, saya menghormati paham Anda tetapi bukan berarti saya mengamininya. Sebagai orang yang sudah mengalami pahit keduanya, saya berpendapat keduanya sama-sama menyakitkan dan sedikit bikin saya kapok. Terimakasih. 

Salam sehat!