Sunan Kalijaga adalah salah satu tokoh penyebar agama Islam di tanah Jawa yang tergabung kedalam Walisongo. Beliau adalah satu tokoh terkenal dari sekian wali yang memiliki keunikan tersendiri dalam berdakwah.

Sunan Kalijaga hidup pada masa kerajaan Majapahit menuju keruntuhan. Kala itu budaya becorak Hindu masih sangat kental di masyarakat dan hal ini menjadi rintangan besar bagi para Walisongo.

Menyikapi hal tersebut, Sunan Kalijaga justru berhasil melahirkan metode dakwah yang unik, yakni dengan melakukan akulturasi Islam dengan kebudayaan Hindu.

Metode seni dakwah Islam yang terkesan sinkretis ini pun nyatanya sangat efektif.

Diantara kreatifitas Sunan Kalijaga, sistem tata ruang Macapat adalah salah satu karya besar beliau dalam penataan landscape perkotaan di Jawa.

Sistem ini dinamakan Macapat karena landscape pusat kota ini berbentuk segi empat yang mewakili 4 penjuru mata angin. Konsep ini adalah pengembangan dari Majapahit yang oleh beliau dimasukkan unsur-unsur filosofi Islam yang diwujudkan pada penataan bangunan.

Secara umum ada 5 bangunan utama yang terdapat pada Macapat ini yaitu alun-alun, masjid agung, keraton atau kantor pusat pemerintahan, pasar dan pengadilan/penjara.

Berikut adalah makna filosofis dari bangunan tersebut sebagai salah satu seni dakwah Islam.

Alun-alun

Alun-alun adalah tanah lapang yang luas berbentuk segi empat. Nama alun-alun berasal dari kata bahasa arab (Allaunu) yang berarti beragam. Alun-alun dimaksudkan agar menjadi tempat bertemunya lapisan masyarakat kalangan bawah maupun kalangan atas (penguasa).

Ditengah alun-alun terdapat 2 pohon beringin yang melambangkan 2 sumber utama syariat Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini menjadi bagian dari seni dakwah Islam.

Dahulu permukaan alun-alun dilapisi pasir sehingga dari kejauhan terlihat seperti ombak yang mengalun atau lautan tak berpantai. Hamparan pasir ini dimaksudkan Sunan Kalijaga sebagai perwujudan sifat ke-Mahatakhinggaan Tuhan, yakni Allah SWT.

Masjid Agung di sebelah Barat

Masjid agung merupakan pusat dakwah agama Islam. Umumnya, letak masjid agung berada di sebelah barat. Secara geografis letak ini dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat mengetahui arah kiblat yakni, ka’bah yang condong ke arah barat.

Penempatan masjid ini menjadi pakem di hampir seluruh pusat kota di Jawa sampai sekarang. Masjid agung memiliki nilai filosofis yakni, simbol hubungan manusia dengan Tuhannya (Hablum Minallah).

Karena letaknya yang berada di sebelah barat alun-alun, otomatis masjid menghadap ke arah timur (arah matahari terbit). Masjid yang menghadap ke arah timur akan mendapat sinar dari matahari mulai terbit hingga terbenam.

Hal ini menandakan bahwa jalan menuju Tuhan adalah jalan yang terang benderang. Maksudnya, ketika manusia menemui ketersesesatan, maka yang ia butuhkan adalah cahaya terang menuju jalan kebenaran, yakni Allah SWT.

Pusat Pemerintahan di sebelah timur

Berseberangan masjid ada keraton atau kantor pusat pemerintahan. Posisi ini tidaklah baku di beberapa tempat.

Di daerah selingkar Gunung Muria, kantor diposisikan membelakangi gunung, hal ini bermakna bahwa pemangku kuasa hendaknya punya sifat yang rendah hati dalam memimpin suatu wilayah karena gunung mempunyai sifat tinggi.

Sedangkan di Jogja, keraton berada di selatan alun-alun menghadap gunung Merapi di utara. Gunung Merapi disimbolkan sebagai singgasana tertinggi menuju Tuhan.

Di Jogja sistem ini adalah satu kesatuan sumbu filosofis yang disebut “manunggaling kawula gusti” atau dapat diartikan bersatunya manusia dengan sang pencipta.

Di beberapa tempat, kantor pusat pemerintahan terletak di sebelah timur menghadap masjid agung. Maknanya pemerintah harus memanfaatkan kekuasaanya menurut perintah Allah SWT. Hal ini dikarenakan status pemerintah yang bukan sebagai penguasa suatu wilayah saja.

Johannes Raap dalam Kota di Djawa Tempoe Doeloe (2015) menerangkan bahwa penguasa pribumi (sultan atau bupati) tidak hanya memimpin suatu wilayah, melainkan mereka memiliki status sebagai wakil Tuhan dari suatu masyarakat sebagai perantara atasan dengan bawahan.

Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. Al Baqarah ayat 30 bahwa Allah SWT menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi. Oleh karena itu sebagai khalifah atau pemimpin (wakil Allah), pemerintah yang berkuasa diharapkan mampu membawa masyarakatnya menuju ke jalan yang benar yakni, dijalan Allah SWT.

Pasar

Pasar merupakan pusat interaksi sesama manusia (Hablum Minannas). Disinilah terjadinya kegiatan muammalah dengan motif ekonomi. Pasar juga menjadi simbol kenikmatan dunia yang tak jarang membuat manusia gelap mata.

Orang yang mampu mengukur ekonominya berdasar kebutuhan akan merasa cukup dan tidak akan berperilaku israf (berlebihan). Sedangkan mereka yang hanya menuruti keinginan, akan cenderung larut dalam godaan dunia.

Dalam contoh nyata dapat kita lihat bahwa pasar lebih ramai pengunjung daripada masjid agung yang merupakan pusat syiar agama.

Hal ini selaras dengan surat Al A’la ayat 19-20 yang artinya “Sedangkan kamu, wahai kebanyakan manusia, lebih memilih kehidupan dunia. Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.”

Pengadilan dan Penjara

Pengadilan dan penjara adalah representasi dari manusia yang mumpunyai sifat pelupa dan kadang tidak bisa mengontrol hawa nafsu. Mereka yang tidak bisa mengendalikan diri akan lalai dan membuat kesalahan yang berakibat menyimpang dari jalan Allah SWT.

Manusia yang berbuat kekeliruan ini akan mendapat hukuman yang didahului melalui proses peradilan.

Penjara adalah simbol pengguguran dosa-dosa manusia, disini mereka dituntut untuk introspeksi diri sehingga diharapkan ketika sudah bebas akan kembali ke jalan Allah SWT.

Editor: Lail

Gambar: https://www.kratonjogja.id/