Mampukah perempuan mengikuti arus kesetaraan gender? Sebuah pertanyaan yang cukup urgent untuk dipertanyakan, didiskusikan dan dievaluasi kembali. Pasalnya kesetaraan gender ini selalu menjadi perbincangan yang cukup hangat apalagi saat ini kita sedang menyambut era society 5.0. Isu kesetaraan gender tahun demi tahun selalu menjadi isu fenomenal yang turut diperjuangkan berbagai kalangan bahkan menjadi bahan yang biasa diobral menjadi janji bagi para calon perwakilan rakyat.

Di Indonesia sendiri isu kesetaraan gender dan keadilan bagi perempuan pertama kali dipelopori oleh RA. Kartini pada tahun 1908. Gerakan ini terinspirasi oleh ketidak adilan bagi perempuan khususnya dalam dunia pendidikan serta sikap feodalisme laki – laki terhadap perempuan yang cukup menekan kehidupan perempuan Indonesia saat itu. Kemudian fenomena ini sering kartini saksikan layaknya sebuah sinetron kisah nyata yang ditayangkan setiap harinya, bahkan fenomena tersebut adalah hal yang wajar bagi adat dan kebudayaan di masa itu.

Hingga saat ini kesetaraan gender di Indonesia masih menjadi isu yang cukup sering disoroti dengan pro dan kontranya. Pasalnya kesetaraan gender di Indonesia belum terealisasi secara optimal. Kasus kekerasan terhadap perempuan masih banyak terjadi begitu juga dengan kesempatan kerja dan partisipasi diberbagai sektor masih didomimasi oleh laki – laki.

Dalam bidang IPTEK partisipasi perempuan masih jauh lebih rendah dibanding partisipasi lelaki meski pemerintah telah berupaya keras dalam menciptakan kesetaraan gender. Begitu juga dengan peran perempuan dalam pembangunan nasional masih sangat rendah bisa dilihat dari Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja perempuan yang cukup rendah dibanding Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja laki – laki. Dimana jumlah laki – laki pada pada sektor kerja formal hampir dua kali lipat dari perempuan.

Belum lagi pada 10 tahun terakhir jumlah tersebut mengalami stagnan dan perempuan pekerja juga cukup rentan mengalami ekonomi shock. Kemudian 26% pekerja perempuan adalah pekerja sektor rumah tangga yang rentan mengalami kekerasan. Sedangkan 89% pekerja perempuan memiliki keterampilan kerja menengah hingga rendah dan 11% lagi adalah pekerja profesional ( jumlah yang sangat sedikit).

Dalam ranah politik pemerintah juga telah menambah jumlah kuota perempuan yang bisa menduduki kursi perwakilan rakyat menjadi 30%. Sayang sungguh sayang, pada pemilu 2019 kemaren hanya sekitar 20% perempuan saja yang mampu menduduki kursi panas tersebut. Angka yang cukup miris, padahal 30% itu sangat minim jika dibandingkan dengan kuota laki-laki sekitar 70%. Kuota tersebutpun masih gagal dipenuhi oleh perempuan. Pantas saja jika aspirasi perempuan selalu terpinggirkan.

Fakta bahwa partisipasi perempuan masih sangat rendah pada tiga sektor yang cukup urgent tersebut sudah bisa menjadi bukti kuat bahwa realisasi kesetaraan gender belum optimal dan perlu adanya langkah strategis untuk mengatasinya. Maka penguatan intelektual bagi perempuan adalah jawabanya. Rendahnya partisipasi perempuan pada sektor IPTEK, pembangunan nasional dan sektor lainnya dapat diasumsikan bahwa hal tersebut terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat intelektual perempuan sehingga tidak mampu bersaing dengan laki – laki.

Negara telah memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki – laki. Hanya saja jumlah perempuan yang mampu bersaing masih sedikit. Jika perempuan memiliki tingkat pendidikan dan tingkat intelektual yang tinggi, negara tidak memberi penolakan. Sebagai contoh Sri Mulyani tetap dipilih sebagai menteri ekonomi karena ia mampu bersaing, begitu halnya dengan Susi Pudji Astuti selaku menteri kelautan.

Sudah selayaknya penguatan intelektual bagi kaum perempuan menjadi langkah yang harus dilakukan pemerintah agar kesetaraan gender bisa tercapai secara maksimal. Karena memberi kesempatan bagi kaum perempuan untuk bersaing tanpa membenahi keilmuannya sama saja dengan memberi tahu secara lembut kepada kaum perempuan bahwa mereka adalah kaum yang lemah sehingga tak mampu bersaing dengan laki – laki. Layaknya memberikan sayap namun melarangnya untuk terbang.

Selain itu perlu adanya kesadaran bagi kaum perempuan Indonesia untuk membenahi keilmuannya agar hak yang telah diberikan oleh negara mampu dipertanggung jawabkan secara bijak. Buat apa sebuah hak mati-matian diperjuangkan jika realitanya tak mampu dipertanggung jawabkan.

 

Penulis: Annisa Jariah

*) Artikel ini merupakan karya peserta Collaboration Project on Writing Challenge hasil kolaborasi Milenialis dengan Puan Melawan, Its Girl’s Time, dan Kuntum