Berbicara mengenai zaman, pada akhirnya berujung pada sejauh mana peradaban manusia sampai. Akhir-akhir ini, tolak ukur peradaban, adat dan budaya tak bisa dikategorikan menyempit atau meluas secara peran dan fungsionalnya, sebab keduanya benar-benar terjadi. Hal itu disebabkan oleh perkembangan teknologi yang sengaja diciptakan manusia sebagai upaya meringankan pekerjaan mereka. Implikasi dari kemajuan teknologi tersebut memunculkan apa yang disebut dengan manusia amfibi.

Masa dan Teknologi

Menemukan teknologi berarti membuat suatu hal, cara, metode atau aplikasi tertentu untuk menyelesaikan masalah tertentu. Misal, pada zaman dulu ketika manusia Nusantara menciptakan kendaraan kuda, perisai perang atau alat bantu lain, itulah memang teknologi yang ada pada masanya. Sedangkan masa ini, teknologi semakin mengecil secara fisik, namun meluas secara fungsional. Sebut saja adanya jejaring internet dan segala media aplikasi yang ada di dalamnya.

Sadar atau tidak, hampir semua remaja atau pelajar dari golongan apa pun telah memiliki gadget sebagai sarana pembelajaran, lebih-lebih di masa pandemi ini. Hal itu juga yang membuat mereka  untuk membuat akun sosial media, seperti facebook, WhatsApp, Instagram, Email atau lainnya sebagai tuntutan sosial abad ini.

Banyak dan beragam hal positif yang ditawarkan media sosial, di antaranya adalah untuk membangun komunikasi dan interaksi yang lebih efisien, mempererat silaturahmi, mengirim pemberitahuan dengan singkat, arena jual beli, jangkauan yang luas, biaya yang sedikit dan sebagainya. Namun, seperti kompleksnya kehidupan, hal-hal negatif juga tak dapat dikontrol oleh massa, seperti hacker, penipuan, tersebarnya berita hoaks, mudah terprovokasi, kurangnya perhatian terhadap sekitar, merusak mata atau otak, buang-buang waktu atau kecanduan bermain gadget.

Manusia Amfibi

Atau jika boleh menganalisa tentang sisi manusianya, bolehkah saya sebut kalau manusia sekarang adalah manusia amfibi yang hidup di dunia nyata dan maya. Yaitu, dalam dua dunia tersebut manusia juga bisa berbeda kepribadian. Ringkasnya, ketika berada di dunia maya ia pemberani, penanggap atau bahkan agak ke-penghujat. Akan tetapi, jika di dunia nyata ia tergolong orang yang pasif dan tak terlihat. Atau sebaliknya, di dunia nyata ia aktif sementara di dunia maya, ia tak menemukan gairah padahal tuntutan zaman mengharuskan kita maksimal dalam keduanya.

Adanya perbedaan yang kontras ketika bermedia juga secara tidak langsung menyerang mental dan kepribadian seseorang, jika diri kita sendiri tak mampu mengendalikannya. Karena filterisasi media tidak begitu diperhatikan, maka orang-orang bebas beropini, menanggapi (baik-buruk), membuat postingan yang belum jelas keabsahannya. Sosial media merupakan teknologi yang perlu kita kendalikan sebagai pelaku dalam mengatur kehidupan.

Syahdan, dalam paragraf terakhir ini, penulis hanya menyampaikan bahwa pada akhirnya kita harus mengenal seseorang lebih jauh dari sekitar sangka dan postingan sosial media. Kita juga harus waspada terhadap perbuatan kita sendiri, sebab sosial media merupakan ranah banyak golongan dan latar belakang.

Salah persepsi dalam membaca postingan saja dapat menimbulkan perbedaan pola pikir dan pemahaman, hingga menjadikan permasalahan nantinya. Maka, sosial media tidak bisa sepenuhnya menjadi tolak ukur dalam hal apa pun terkait kepribadian manusia. Kita perlu saling mengetahui diri kita sendiri, orang lain dan alam sekitar. Sehingga, menjadi manusia amfibi pun sama-sama tetap bisa memberi manfaat bagi sekitarnya.

Editor: Nirwansyah

Ilustrasi: Medium