Dua bulan belakangan, kota-kota sepi. Lalu lintas menurun. Polusi udara berkurang. Partikel-partikel debu baik PM 10 maupun PM 2,5 makin minim. Jakarta, Tokyo, London, Beijing, New Delhi sampai New York yang tadinya jadi pusat keramaian dan kemacetan dengan langit kelabu kini dinaungi langit biru.

Fenomena ini lantas membuat warganet, mungkin termasuk kita, berpikir bahwa Covid-19 adalah berkah bagi bumi. Juga membuktikan kalau manusia bisa disebut sebagai “virus” yang merusak bumi dengan polusi—dan Covid-19 adalah vaksinnya. Sekilas ini bagus, tapi kalau dipikir lebih dalam mungkin kita akan menarik kesimpulan yang jauh berbeda.

 

Bumi Nggak Membaik

Sejak era industri di abad 19, bumi terus mencatat kenaikan kadar polusi juga peningkatan suhu. Industri terus tumbuh, kendaraan makin banyak. Fenomena ini mengantarkan kita pada perubahan iklim (yang kini disebut “krisis iklim”).

Ada beberapa titik di mana polusi justru mengalami penurunan. Titik itu salah satunya adalah krisis moneter dunia tahun 2008. Betul, krisis ekonomi bisa menurunkan kadar polusi udara. Ada beberapa titik waktu lain yang juga mengalami penurunan kadar polusi udara, seperti perang dunia kedua dan krisis ekonomi sebelum 2008.

Sekali lagi, fenomena ini sekilas baik untuk bumi. Tapi nyatanya hanya sementara. Begitu ekonomi pulih, polusi udara kembali lagi, bahkan kadarnya meningkat. Begitu perang selesai, tren peningkatan polusi udara akan kembali melesat.

Padahal, yang kita butuhkan adalah perubahan terus-menerus. Nggak hanya sementara. Bumi bisa lebih baik kalau tren polusi udara berbalik, bukan sekadar “tobat” sebentar.

Lebih jauh lagi, sampah industri memang berkurang karena orang-orang pada #dirumahaja. Tapi jangan lupa, ada rumah sakit yang lebih penuh dari biasanya. Ada penggunaan alat pelindung diri (APD) yang jauh lebih banyak dari biasanya. Hasilnya adalah sampah medis meningkat berlipat-lipat.

Peningkatan sampah medis bisa sampai empat kali lipat. Bukan perkara sepele, karena perlakuan untuk sampah medis sangat berbeda, jauh lebih ribet, dan nggak bisa sekadar ditimbun seperti sampah domestik. Ini justru jadi mimpi buruk buat bumi.

 

Manusia Bukan Virus

Ada inisiasi bagus yang sejauh ini sudah dilakukan untuk menyikapi krisis iklim, misalnya agenda pencegahan perubahan iklim lewat Conference of Parties (COP) oleh PBB yang diadakan tiap tahun. Juga agenda Friday for Future-nya Greta Thunberg. Nah, agenda-agenda ini merupakan upaya jangka panjang pengurangan krisis iklim yang harus tertunda karena pandemi Covid-19.

Jadi, kelihatan sekali bahwa Covid-19 sebenarnya hanya baik bagi bumi untuk jangka pendek, bukan jangka panjang. Lagipula naif kalau menyebut bahwa manusia menderita lalu lingkungan membaik, padahal manusia juga bagian dari lingkungan dan bumi, kan?

Nggak mungkin juga kita berharap keadaan bumi membaik sementara krisis ekonomi terus-terusan terjadi. Karena kalau krisis ekonomi terus menghampiri efeknya adalah kemiskinan merajalela, pengangguran meningkat, dan manusia kelaparan. Bisa jadi ada konflik di mana-mana. Yang ada keadaan memburuk, bukan malah membaik.

Pun jika asumsi krisis itu nggak terjadi, ada keadaan lain yang perlu dipertimbangkan, yaitu manusia harus terus #dirumahaja. Apakah itu yang baik bagi kita? Jelas enggak. Mestinya bumi membaik dan manusia bisa beraktivitas secara normal, bisa keluar rumah kapanpun diperlukan.

Memang pada akhirnya nggak bijak jika menyebut manusia sebagai perusak bumi. Manusia bukan virus bagi bumi. Karena manusia punya potensi untuk jadi baik ataupun jadi buruk. Jadi penghancur ataupun sebaliknya, justru jadi pemelihara bumi.

Perubahan yang kita perlukan untuk bumi adalah perubahan yang memang mengubah perilaku manusia. Bukan perubahan karena terpaksa, dipengaruhi oleh pandemi. Melainkan perubahan yang memang mengakar kuat dalam kehidupan kita, lalu pelan tapi mantap memperbaiki iklim dunia.

Perubahan semacam itulah yang bisa kita lakukan untuk keluar dari krisis iklim, juga menjawab tuduhan bahwa manusia kerjaannya membuat kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi. Bukan perubahan yang sebentar, lalu setelah pandemi merusak lingkungan lagi.

 

Selamat Hari Bumi. Semoga satu-satunya planet tempat tinggal kita ini selalu lestari.

 

 

Penulis: Nabhan Mudrik A.

Ilustrator: Ni’mal Maula