Pandemi memberi kita banyak kesempatan. Menghemat obrolan, tidak lagi mengacuhkan kesehatan, dan cermat membaca halaman-halaman koran. Oh iya, juga mengidentifikasi jenis-jenis kebodohan. Pandemi  juga mengurangi aktivitas pencemaran, harusnya, seperti yang berita pagi katakan.

Adalah fakta, pandemi memberikan waktu untuk memulihkan diri, apalagi untuk bumi. Karena adanya jeda untuk industri dan transportasi, terjadi pengurangan emisi. Tapi kita lupa, atas konsep konsumsi energi. Listrik dan gas LPG tetap menjadi suplai yang kita butuhkan berhari-hari –dan kita berubah menjadi seperti bayi yang tiap hari mengerang, menangis meraung-raung untuk mendapatkan yang diinginkan, energi–. Dari data yang dikeluarkan PLN, peningkatan kebutuhan energi mencapai 11,6% untuk gas LPG dan 6% untuk listrik.

Pada konsepnya, sama saja. Listrik dan gas LPG yang kita gunakan berasal dari bahan bakar fosil, minyak bumi. Walaupun tidak bisa kita bandingkan dengan grafik menurunnya penggunaan BBM, tapi dasarnya sama, kita mengeruk lagi bahan bakar tak terbarukan. Pertanyaan selanjutnya, apa dampak dari fenomena naik dan turunnya kebutuhan ini?

Temporer

Berhenti dalam jangka waktu tertentu untuk mengonsumsi BBM bukan berarti kita langsung tidak membutuhkan energi. Setelah masa pandemi berakhir, bisa dipastikan pada pukul tujuh pagi, jalanan sudah dipenuhi klakson kendaraan dan pisuhan. Dan sekali lagi, manusia terikat pada suatu ketakutan kekuatan, ekonomi.

Ekonomi dan lingkungan sudah menjelma menjadi sebuah sumbu tegak lurus. Ekonomi berjaya setinggi-tingginya, sementara lingkungan kena dampaknya. Lingkungan sedang memperbaiki diri, ketika ekonomi senyap pun sepi.

Diketahui bahwa pada tahun 2007-2008 disaat terjadi krisis ekonomi global, rekam jejak emisi yang dikeluarkan juga menurun, hampir sama dengan saat ini, yang sejauh ini paling baik selama setelah Perang Dunia II terjadi.

Kita tetaplah manusia yang menginginkan begitu banyak hal. Lingkungan serta ekonomi harus selalu dipertahankan, dan kita harus ambil tindakan. Banyak yang berusaha mengubah kondisi, menyuarakan opini-opini. Pada akhirnya, hal fundamental dalam perubahan adalah sejatinya mengubah diri sendiri, berani mengambil keputusan dan memerangi nafsu dan ego berselimut “kemanusiaan”.

Sayangnya tak kalah banyak juga yang diam, merasa bukan kuasanya untuk mengubah hal-hal yang sudah terjadi. Kemudian, menjadi manusia yang dipojokkan oleh kehancuran diri sendiri, atas ketidakmampuan dan keputusasaan.

Manusia terlalu menyiakan sisa-sisa yang ada, yang bisa dijadikan kesempatan, untuk waktu yang akan datang.

Penulis: Qonita Labibah Rahmah

Penyunting: Aunillah Ahmad