Ramadan kali ini mungkin akan berbeda. Tapi sayangnya, bukan pada maknanya yang menggembirakan. Semua umat manusia dari berbagai belahan dunia, termasuk kaum Muslim, harus berhadapan dengan ujian berat: “pagebluk” karena wabah Covid-19.

Saya sedih ketika shalat Jum’at ditiadakan. Tentu kita semua mengerti bahwa menjaga kemaslahatan lebih utama ketimbang hilangnya nyawa jutaan jiwa. Sehingga lebih baik tidak menyelenggarakan shalat Jum’at, daripada tertular atau menularkan penyakit mematikan virus Corona.

Jelas, akal sehat kita menerima hal yang demikian. Hanya saja, rasanya tidak biasa kalau seandainya tidak menghadiri ritual mingguan kaum Muslim ini. Padahal sebelumnya, kita bisa mandi, berangkat lebih awal dari rumah, shalat Sunnah secara lebih leluasa, khusyu’ mendengarkan khutbah yang melegakan hati dan seterusnya.

Nanti, seandainya kita mengalami puncak keprihatinan, di mana perekonomian semakin sulit, akses terbatasi dan bahan makanan tidak lagi melimpah, penularan virus jahat semakin massif, – semoga Allah segera mengangkat cobaan ini – mungkin kita tidak akan merayakan gegap-gempita “buka puasa” dan “sahur” hura-hura serba mewah. Media balas dendam karena tidak makan setengah hari, tidak ada lagi. Cukup dengan nasi dan kerupuk. Itupun kalau masih bisa makan.

Lalu ketika shalat tarawih, biasanya ada sebagian Muslim yang sengaja pamer busana Islami, kerudung dan mukenah mahal, motor dan mobil baru, bahkan muda-mudi yang pamer pacar baru, sampai pada imam dan khatib yang unjuk keahlian mengaji merdu dan pidato menggebu-gebu, – tentu riya’ hanya Allah yang tahu – kini tidak ada lagi. Tarawih hanya bisa dilakukan di rumah bersama keluarga. Atau bahkan sendiri bersama sepi, bagi mereka yang lajang (jomblo).

Selepas tarawih, biasanya tadarus diselenggarakan. Ini adalah media silaturahmi yang paling asyik, nyaman dan membuat solidaritas sosial semakin mantap. Hal ini juga tidak diperkenankan, karena bertentangan dengan kepentingan “social distancing.” Intinya, beresiko terbunuh virus Corona.

Kalau sepanjang Ramadan situasinya semakin teruk, maka besar kemungkinan perayaan Idul Fitri juga ditiadakan. Artinya, tidak perlu repot memikirkan baju baru (terutama untuk anak-anak), mengeluarkan anggaran mudik yang tidak kecil, memasak masakan istimewa, menyiapkan kue-kue khas lebaran dan lain sebagainya. Sekali lagi, tidak ada upaya “balas dendam” – berteman dengan syaitan yang sebelumnya dibui selama bulan puasa – dengan cara terlalu bermewah-mewahan (al-takatsur).

Ramadan akan menjadi bulan yang sepenuhnya perlu digunakan untuk menahan “seluruh” hawa nafsu. Tidak makan dan minum, selalu berdzikir (ingat Allah), tidak melihat maksiat, tidak mendengar kekejian, tidak berbicara buruk dan kotor, tidak terbakar amarah, serta tidak meluapkan birahi. Intinya benar-benar berhenti dari bimbingan sembilan lubang nafsu diri (nutup babahan hawa ingkang sanga, kata orang Jawa).

Barangkali, itulah kesempatan yang sebesar-besarnya yang dianugerahkan kepada kita semua untuk betul-betul bertirakat, ber-tahanus, bersemedi, menyendiri dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah). Tentu 24 jam kehidupan kita bukan hanya untuk ritual peribadatan. Tetapi juga “sekolah diri” agar lebih memanusiakan manusia, tulus membantu sesama, bersih dari segala pikiran yang picik, sombong, pelit, dan sederet perilaku kebintangan kita lainnya.

Puasa di tengah Covid-19 semestinya menjadi media introspeksi diri: mengingat-ingat betapa menggunungnya dosa kita. Dalam hal in, maka puasa menjadi jembatan kesadaran agar senantiasa menyucikan jiwa (tazkiyah al-nafs) semurni-murninya, sebersih-bersihnya.

Mungkin kita lupa, alpa dan sembrono untuk segera mengerti bahwa “Segala-gala yang bersumber dariNya, akan bermuara ke pangkuanNya jua” (innalillahi wainna ilaihi raji’un). Perkara ini bukan hanya untuk orang mati. Tapi juga untuk orang yang hidup. Karena itu, segala materi, harga diri, termasuk anak-istri dan bahkan ruh yang menjadikan kita hidup ini, sebenarnya ada yang punya: Allah SWT.

Puasa di bulan Ramadan yang spesial ini, mari kita menghayati ayat-ayat Allah di dalam kitab suci, sekaligus yang bersemayam di dalam diri dan kehidupan (ayat-ayat semesta). Seyogianya kita memperbanyak bangun malam untuk bertahajud, membaca al-Qur’an, menyerahkan diri kepada pemilikNya dengan cara yang setulus-tulusnya, suci bersih dan konsentrasi tinggi (berdzikir, berdoa dan refleksi diri).

Semoga Allah menjadikan kita hambaNya yang beriman, menyucikan diri, bertakwa dan paripurna (ihsan). Tentu saja, semakin berat tantangan dan ujian yang harus kita tempuh, sesungguhnya semakin dekat kita kepadaNya.

Akhirul kalam, semoga Allah mengampuni kita semua, menyelamatkan kita semua, menggolongkan kita semua sebagai bagian dari golongan kanan, yang kelak akan hidup abadi di kampung akhirat bersama para nabi. Semoga Allah segera mengangkat ujian Covid-19 dari muka bumi ini.[]

Penulis: Hasnan Bachtiar

*Artikel ini telah diterbitkan di Buletin Nurani Edisi April 2020