Sebelum membahas matinya kepakaran, terdapat dua pertanyaan reflektif berikut. Apa jadinya dunia kesehatan jika semua orang merasa tahu untuk penanganan seorang pasien yang sedang mengalami penyakit dalam? Kemudian apa jadinya pula dunia hukum jika semua orang merasa tahu tentang perundang-undangan dari pada hakim dan pengacara?

Itulah sekelumit pertanyaan yang mewakili sebagian kecil keresahan banyak orang tentang Internet yang dipenuhi pendapat dan argumentasi yang subjektif, relatif, dan bahkan tak berdasar. Ironisnya hal tersebut memiliki tempat tersendiri bagi mereka yang senantiasa berselancar di internet dengan buta.

Tak sampai disitu, internet juga membuat orang-orang meragukan pendapat pakar hingga menggerus kepercayaan publik terhadap pakar dibidang tertentu. Untuk itulah Tom Nichols menulis buku ini.

Matinya Kepakaran

Matinya kepakaran adalah judul buku yang terbit pada tahun 2018 oleh Kepustakaan Populer Gramedia. Tom Nichols sebagai penulis buku mengemukakan kegelisahannya atas perlawanan terhadap pengetahuan yang telah mapan.

Buku ini banyak membicarakan tentang kondisi terkini Amerika Serikat. Di mana salah satunya, yakni pertentangan antara seorang perempuan dewasa dengan dokter perihal susu mentah.

Dalam penelitian para dokter, susu mentah 150 kali berpotensi membahayakan kondisi kesehatan. Singkatnya jika mengkonsumsi susu mentah maka sama bahayanya seperti kita menunggu angka enam keluar dari sebuah dadu yang sedang acak di sebuah kotak.

Setelah dokter tadi menyarankan untuk tidak mengomsusinya, perempuan dewasa tersebut tetap saja menghidangkan susu mentah sebagai sajian santapan keluarga besarnya. Kemudian hal itu ia lakukan dengan dalih bahwa dokter pernah salah saat meneliti kandungan telur dan daging merah.

Tak berhenti sampai disitu, pada tahuan 1990-an sekelompok kecil “penyangkal AIDS” menentang consensus dunia medis bahwa virus HIV yang menyebabkan AIDS. Namun faktanya, setelah para peneliti menemukan HIV, dokter dan pejabat kesehatan public mampu menyelamatkan banyak nyawa melalui tindakan pencegahan.

Masalahnya mungkin selesai begitu saja. Tapi gagasan ngawur itu ternyata menarik perhatian presiden Afrika Selatan, Thabo Mbeki, dimana ia menolak bantuan obat-obatan dan berbagai bentuk bantuan lain untuk memberantas penyebaran virus HIV di negerinya. Akibatnya, sekitar 300 ribu orang meninggal dan sekitar 35 ribu lebih anak lahir dengan HIV positif yang nfeksinya seharusnya bisa dihindari.

Dua kisah di atas adalah sekian dari banyaknya kisah yang memperlihatkan pertentangan antara pakar dan awam di Amerika Serikat. Pertentangan itu tampaknya relevan dengan adagium “seribu kebaikan akan runtuh dengan beberapa kesalahan”.

Manusia memang demikian. Pada dirinya terdapat potensi yang dapat mengantarkannya kepuncak pencapaian, juga memiliki potensi untuk merobohkan kemanusiannya sama sekali.

Internet, Pendorong Matinya Kepakaran

Tom Nichols menganalogikan Internet dengan hukum Sturgeon dengan mengatakan bahwa 90 persen dari semua hal di internet adalah sampah. Karena didalamnya orang bebas mengunggah apapun dan pada akhirnya druang publik dibanjiri informasi yang yang tak penting.

Internet layaknya mengijinkan satu miliar bunga mekar, namun sebagian berbau busuk, dimulai dari pikiran iseng, teori-teori konspirasi hingga penyebaran informasi bohong oleh sekelompok orang. Internet bukan hanya membuat kita semakin bodoh, tapi juga lebih kejam, sebagian dari kita tak ingin menguji informasi, berdiskusi dan berdebat sehat, melainkan mengecilkan opini orang lain yang berbeda, menghina dan menyerang.

Dititik inilah yang menjadi masalah, sebab pada titik ini kita sampai menghilangkan peran pakar. Informasi benar disangkal, dan pada akhirnya kebodohan mengabdi pada diri manusia. Begitulah kehidupan banyak manusia di Amerika Serikat, Indonesia, dan mungkin hampir seluruh masyarakat diseluruh dunia.

Kepakaran dan Pendidikan

Dalam buku ini Tom Nichols juga menghubungkan kepakaran dengan studi-studi formal yang berujung pada elitisme otoritas. Dimana menurutnya ada empat hal yang berlaku sebagai syarat dan mesti dimiliki oleh seorang pakar, yakni pendidikan, pengalaman, bakat dan pengakuan rekan sejawat.

Menurut saya kriteria yang dibangun oleh Tom Nichols mengandung paradoks. Dikarnakan pada bab lain,ia mengkritisi otoritas pendidikan, tetapi pada saat yang sama juga memasukkan pendidikan sebagai salah satu syarat. Lantas pendidikan seperti apa yang dimaksud oleh Tom Nichols?

Kalau kita membuka lembaran sejarah jauh kebelakang, tentunya kita akan banyak menemui intelektual ternama yang tidak melalui pendidikan formal, misalnya Henry Billings, seorang hakim yang tak menempuh sistem pendidikan sebagaimana yang kita lihat hari ini, kemudian seorang advokat Abraham Lincoln ia juga tidak melalui pendidikan formal. Atau yang paling dekat dengan kita chaerul, ia seorang awam dibidang teknik tapi ia mampu merakit pesawat seorang diri.

Kembali kepertanyaan diatas, sebenarnya pendidikan seperti apa yang dimaksud oleh Tom Nichols?

Supaya lebih mudah sebaiknya kata pendidikan disini kita bagi menjadi dua klasifikasi atau dua bagian, yakni pendidikan masa lalu dan masa kini. Pada dasarnya manusia sebagai subjek pendidikan pada dirinya memiliki kemandirian berpikir. Maka tak heran jika pada masa lalu kita mendapati pemikir yang tak kalah dengan pemikir hari ini.

Sejalan dengan itu menurut Malcom Gladwell seorang dapat dikatakan expert di bidangnya jika ia sudah menghabislah 10.000 jam pada satu bidang tertentu dengan konsisten dan berkelanjutan.

***

Tetapi jika kita lihat realita pendidikan hari ini, semestinya 4 sampai 7 tahun di perguruan tinggi adalah tahun-tahun yang menakjubkan dalam fase terpenting kehidupan mahasiswa.

Sebab menurut Hartono Tasir, jika kita harus menyelesaikan 150 SKS untuk dapat lulus sebagai sarjana, dan 1 SKS-nya dihitung setara dengan 50 menit tatap muka perminggu yang dari 16 kali pertemuan ditiap semesternya, maka untuk menjadi Sarjana hanya dibutuhkan waktu 2000 jam saja. Dan itu belum termasuk praktikum, KKN, serta penelitian skripsi. Inilah sistem pendidikan yang dkritik Tom Nichols didalam bukunya, bahwa bisa jadi ini akibat kapitalisasi pendidikan.

Manusia sebagai pihak yang terlibat dalam pendidikan mestinya menjadikan setiap tempat sebagai sekolah dan menjadikan setiap orang sebagai guru sebagaimana yang dimaksudkan oleh Roem Topatimasang, guna mencukupkan 10.000 waktu tersebut agar mahasiswa benar-benar menjadi pakar.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengalaman yang hanya berdasar pada bakat disebut dengan hobi, kemudian pengalaman yang didasarkan pada pengetahuan tertentu adalah pakar, sebaliknya pengetahuan tanpa pengalaman adalah akademisi.

Editor: Nabhan