Tanggal 21 April kemarin, bertepatan dengan Hari Kartini, cukup banyak orang di sekitar saya membicarakan gender equality— memaknai kesetaraan gender yang katanya identik dengan sosok R.A Kartini sebagai pejuang emansipasi wanita di Indonesia. Tetapi, hari itu saya justru terjebak dalam kebingungan tentang konsep kesetaraan gender. Jika memang kesetaraan itu baik, mengapa banyak orang yang menentang? Seperti apa sebenarnya kesetaraan yang dimaksudkan? Untuk siapa kesetaraan itu digaungkan? Terlalu banyak sudut untuk melihat kesetaraan gender sebagai suatu hal absolut, bukan?

Saya masih bertanya-tanya ketika mendengar gaung kesetaraan gender. Gerakan yang menuntut persamaan hak bagi perempuan dan laki-laki. Saya pikir untuk apa disamakan, bukankah pada dasarnya perempuan dan laki-laki itu diciptakan berbeda? Baik secara fisik, fisiologi, maupun psikologi yang mana menjadikan kebutuhan dan kemampuan keduanya tidak dapat disamakan.

Ternyata, gender menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) merujuk pada peran yang terbentuk secara sosial, kebiasaan, aktivitas, serta sifat yang diberikan oleh masyarakat berdasarkan kelayakan untuk laki-laki dan perempuan sebagai pembeda sex—jenis kelamin yang merujuk pada karakteristik biologis dan fisiologis untuk laki-laki dan perempuan.

Sebut saja “main” saya kurang jauh. Karena tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mengizinkan anak perempuan untuk bebas berpendapat, bebas memilih hendak menjadi apa, boleh membantu ibu memasak,  juga menjadi “asisten” bapak membetulkan instalasi listrik atau pipa saluran air, meski jika harus mengangkat atau memindahkan barang besar dan berat adik laki-laki saya selalu jauh lebih bisa diandalkan. Sehingga saya merasa nyaman terkungkung dalam sudut pandang sempit itu.

Seolah menolak melihat realita bahwa masih banyak diskriminasi terhadap perempuan, banyak anak perempuan yang harus meninggalkan bangku pendidikan karena pernikahan dini, glass ceiling yang membatasi kiprah perempuan, serta masih banyak lainnya.

Sebelum menulis artikel ini saya sempat mengirim pesan via WhatsApp kepada beberapa kawan untuk menanyakan pendapat mereka tentang kesetaraan gender. Ada satu jawaban yang cukup menarik bagi saya.

“Daripada kesetaraan gender, gimana kalau melihat people as a human? Apapun gendernya, mereka punya hak as a human pada diri masing-masing. Isu kesetaraan gender sering jadi alasan cewek pengen lebih dimengerti dan jadi alasan cowok untuk melakukan kekerasan pada cewek. Orang lupa bagaimana caranya melihat orang lain as a human, sebagai makhluk hidup”

Jawaban itu memaksa saya untuk mencari tahu lanjut makna kesetaraan gender. Menilik definisi dari UNICEF, gender equality berarti baik perempuan dan laki-laki maupun anak perempuan dan anak laki-laki mendapatkan hak, resources, kesempatan, dan perlindungan yang sama. Namun tidak menuntut perempuan dan laki-laki menjadi sama atau diperlakukan benar-benar sama.

Dalam sejarahnya pun, Mary Wollstonecraft, sebagai pencetus gerakan feminisme menekankan kecamannya pada berbagai bentuk diskriminasi pada perempuan dan menuntut persamaan hak dalam pendidikan dan politik. Baru selanjutnya tuntutan itu berkembang mencakup hukum dan undang-undang negara agak lebih adil dan tidak merugikan perempuan. Jika hanya berhenti sampai di situ tentu kesetaraan gender menjadi suatu hal yang sangat dinantikan gemanya di seluruh dunia, khususnya bagi para perempuan yang selama ini cenderung lebih banyak dibatasi haknya.

Sayangnya, ada kelompok-kelompok radikal yang memunculkan beragam persepsi dan penilaian terhadap gerakan feminisme tersebut. Makna kesetaraan gender menjadi ternoda, hingga banyak disalahkan karena dianggap mengerdilkan laki-laki serta mengubah perempuan menjadi sosok yang hanya berorientasi pada karir. Mungkin itu juga yang menjadi sebab munculnya pendapat dari kawan saya tadi, kesetaraan yang dimaknai dengan asal-asalan.

Menurut saya, hal mendasar yang diperlukan untuk membangun kesetaraan gender adalah persamaan persepsi mengenai makna dari kesetaraan gender itu sendiri. Bahwa kesetaraan gender tidak pernah menuntut persamaan dalam semua hal serta tidak hanya diperuntukkan bagi kaum perempuan saja. Dari kesamaan persepsi untuk memaknai kesetaraan gender, dapat dimulai langkah awal membangun kesetaraan gender.

 

Penulis: Latifah Alifiana

*) Artikel ini merupakan karya peserta Collaboration Project on Writing Challenge hasil kolaborasi Milenialis dengan Puan Melawan, Its Girl’s Time, dan Kuntum