“Orang Barat punya segudang ide untuk menciptakan media sosial. Orang Indonesia punya banyak waktu untuk memanfaatkan nya.”

Demikianlah anekdot yang pernah aku baca dalam sebuah media online. Sungguh mengenaskan dan membuatku tertawa sendiri sembari mengiyakan. Cambukan keras untuk para milenials Indonesia yang kian lengket dengan gawai di tangannya.

Salah satu perangkat milenials adalah smartphone. Perangkat lunaknya bernama media sosial (medsos) seperti facebook, instagram, line, dan whatsapp. Media sosial inilah dunia baru milenials yang mendominasi kesehariannya. Selain untuk komunikasi, dunia maya juga menjadi sebuah media para milenials untuk mengeksiskan dirinya.

Kecanggihan media sosial telah membentuk perilaku dan karakter milenials yang cenderung lebih individual, narsis, kurang kritis, dan materialistis. Jika dilihat dari kesibukannya, milenials cenderung pemalas daripada generasi sebelumnya. Pekerjaan mereka terpaku dengan gawai. Ucapan, tindakan dan ungkapannya beraksi dengan jari-jari dalam sebuah status di media sosial.

Generasi “Aku Gitu Loh”. Begitu aku mendeskripsikan milenials. Ada kesan “pengen eksis” di kalimat itu. Media sosial dijadikan sebuah wadah untuk mendokumentasikan setiap episode kehidupannya. Setiap momen dipastikan ada status di story Whatsapp, instagram, atau facebook, tak ayalnya bagai artis yang selalu membagikan ceritanya kepada netizen.

Era milenial juga disebut sebagai era digital. Rhenald Kasali dalam salah satu bukunya menyebutkan bahwa di era digital ini, masyarakat tidak terlepas dari kamera. Foto dokumentasi di setiap event menjadi bagian tak terpisahkan di era milenial. Dengan adanya kondisi ini, maka foto menjadi sebuah hal yang primer bagi para milenials.

Setiap objek memiliki hal positif dan negatif, sesuai sudut pandang yang dilihat. Orang bijak selalu melihat segala sesuatu dari berbagai sudut pandang. Semakin banyak sudut pandang yang digunakan, semakin bijak ia dalam bersikap. Ia semakin tahu mana hal positif yang bisa memberi manfaat dan mana hal negatif yang akan menjadi sebuah lampu merah supaya tidak terjerumus ke dalamnya. Orang bijak akan berlomba-lomba meraup sebanyak-banyaknya keuntungan yang didapat dan menghindari sejauh-jauhnya hal-hal yang merugikan.

Di era milenial ini pemuda ditantang untuk berpikir kritis dan mengasah sensitivitas sosial. Karena hanya orang bijaklah yang mampu menjadi pemenang, sementara pecundang hanya akan menjadi santapan zaman untuk dikelabui media sosial.

Perbandingan antara pemenang dan pecundang era milenial adalah antara “memanfaatkan” dan “dimanfaatkan”. Pemenang mempunyai siasat tersendiri untuk memanfaatkan media sosial sebagai media untuk meraih apa yang ia cita-citakan. Sementara si pecundang, ia lemah karena terkelabui oleh gemerlap sosial media dan ia tidak punya tameng atau kendali yang kuat untuk menahan arus perkembangan zaman.

Wujud konkret dari seorang pemenang milenial adalah gejolak kreativitas yang teraplikasi menjadi sebuah inovasi dan jaringan kuat untuk mengembangkan passion, bakat, dan minatnya. Anthony Tan (owner Grab) dan Nadiem Makarim (owner Go-Jek) misalnya. Berbekal kreativitas dan kecerdasannya memanfaatkan peluang di era milenial, mereka bisa meraup jutaan keuntungan dan menang dalam skala global karena telah membuat atmosfer baru gaya hidup masyarakat dunia.

Wujud pemenang milenial dalam skala kecil dapat dimulai dari hal yang sederhana dan semua orang bisa mengusahakan. Dewasa ini, informasi-informasi lomba dan event sangat mudah didapatkan. Orang akan mudah mendapatkan informasi yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Si pemenang akan memanfaatkan kesempatan ini sehingga ia mampu mengembangkan dirinya.

Adapaun si pecundang milenial adalah mereka yang lemah tak beradaya dan terkelabui oleh semarak sosial media. Ilmu tidak punya, sementara ia ingin eksis terus update status. Wawasan masih sempit, sementara ia ingin aktif komentar di status orang lain. Tugas menumpuk, sementara ia lengket terus dengan gawainya.

Bonus demografi adalah arena persaingan. Jika kalah, mungkin saja pemuda negeri harus tunduk pada orang asing yang menjajah dengan kompetensi kerjanya yang kuat. Dunia digital menjadi medan persaingan yang vital. Kekalahan di media sosial, adalah kekalahan yang fatal, dan kemenangannya adalah kemenangan yang menentukan.

 

 Penulis : Firdan Fadlan Sidik

Ilustrator : Ni’mal Maula