Jika pada tulisan sebelumnya yakni “Sapardi, Tak Ada Hujan Bulan Juni”, saya menyoal Sapardi dari salah satu karyanya yang paling sering orang-orang sebut dan ingat. Namun rupa-rupanya ketika saya mendaras puisi berjudul “Hujan Bulan Juni” itu, ada yang luput tapi nasib baiknya saya lekas ingat sehingga kemudian menulis “catatan kaki” pendek ini sebagai pelengkap -yang sebenarnya lebih cocok untuk mengawali tulisan sebelumnya.

Ini penting dan mengapa demikian? Sebab Sapardi tidaklah tercipta dari “simsalabim,” di dunia yang penuh tipu daya ini. Tak  ada yang benar-benar ajaib dan cepat, begitu juga Sapardi yang kita kenal hari-hari ini. Ia adalah Sapardi yang dibentuk zaman, dibentuk buku-buku, dibentuk oleh sesuatu yang bernama proses.

Mari kita menziarahi atau tepatnya menengok serta membaca kembali riwayat karya-karya awalnya yang jadi penanda dimulainya kepenyairan  pria 80 tahun dengan kepala yang selalu ditutupi topi baret  khas.

Sapardi dan Puisi

Sapardi Djoko Damono atau kerap diringkas SDD, lahir di Surakarta 20 Mei 1940. Ia dibesarkan oleh nuansa priyayi yang kental, bahkan diarahkan untuk menjadi seorang Jawa tulen. Sapardi muda menempuh jenjang pendidikannya di lingkungan Keraton Surakarta. Meski demikian, takdir membawanya pada pengembaraan yang lain.

Sapardi menulis semenjak Sekolah Menengah Pertama (SMP), tetapi ia menciptakan dunia puisi nya ketika naik setingkat, alias saat duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Ia makin berkembang ketika berada di Universitas Gajah Mada (UGM) dan menempuh studi di jurusan Sastra Inggris. Pada usia yang masih sangat muda, dikirimnya puisi-puisi ke berbagai media. Beberapa diantaranya pernah terbit di majalah mimbar, dan majalah asuhan sastrawan H.B Jassin.

Namun demikian, kegemarannya pada dunia puisi tak serta merta linear. Pada mulanya Sapardi ingin menjadi guru saja, mengajar dan itu sudah cukup baginya. Tuhan Maha Baik, sebagaimana cita-citanya, Sapardi kemudian benar-benar mengajar. Ia menjadi guru dan dosen, bahkan sempat mengemban jabatan sebagai Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) periode 1995-1999.

Tetapi hingga sekarang, Sapardi lebih dikenal sebagai sastrawan atau penulis puisi, atau kritikus sastra. Alih-alih seorang guru atau dosen, seperti cita-cita awalnya.

Riwayat Karya-Karya Sapardi

Penyair masyhur ini pernah meraih pelbagai penghargaan seperti The Putera Poetry Award (1983), The Jakarta Arts Council Literary Award (1984). Juga The SEA Write Award (1986), The Achmad Bakrie Award for Literature (2003), dan The Akademi Jakarta Award (2012,  Habibie Award (2016), dan banyak lagi.

Sapardi juga telah melahirkan banyak karya sastra, sebutlah seperti essai, kumpulan puisi, cerita pendek sajak-sajak, prosa, kritik sastra, bahkan juga menerjemahkan karya sastra dunia. Berdasarkan rentan tahun terbit, karya-karya Sapardi dimulai dari Dukamu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), Sosiologi Sastra : Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Indonesia Sebelum Perang (1979), Perahu Kertas (1983,) Sastra Indonesia Modern : Beberapa Catatan (1983) Sihir Hujan (1984).

Namun pada tahun-tahun yang sibuk, Sapardi sempat juga vakum menulis puisi selama bertahun-tahun.Tetapi puisi selalu berhasil untuk mencegatnya kabur. Barangkali puisi sengaja memberinya jeda, agar dapat mengambil jarak lalu kembali dengan perasaan yang lebih jernih. Dalam kasus ini, bisa dikatakan Sapardi berhasil.

Sapardi melanjutkan torehan riwayat gemilangnya, memulai kembali dengan judul-judul berikut, Sihir Rendra :Pemaknaan Kata (1990), Bilang Begini, Maksudnya Begitu (1990). Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Politik Ideologi dan Sastra Hibrida (1999).

Pada dekade 2000 keatas, usia tak menghambat Sapardi, bahkan ia makin “menggila”, karya-karyanya melintang dari Ayat-ayat Api (2000), Mata Jendela : Sajak-Sajak (2001), Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002),  Membunuh Orang Gila (2003), Mantra Orang Jawa (2005), Kolam (2009), Bilang Begini Judulnya Begitu (2010), Namaku Sita (2012). Pada Suatu Hari Nanti (2013), Melipat Jarak (2015), Trilogi Soekam (2015), Suti (2015), Alih Wahana (2016), Pingkan Melipat Jarak (2017), Yang Fana Adalah Waktu (2018), Perihal Gendis (2018), Sepasang Sepatu Tua (2019), Menghardik Gerimis (2019), terakhir mungkin adalah Perempuan Yang Tak Bisa Dieja (2020), dan masih banyak lagi riwayat karya beliau yang tak tercatat disini.

**

Sapardi, sepertinya tak pernah atau mungkin jarang sekali gagal dalam menulis. Tulis-tulisan berupa prosa, essai lepas, sajak, novel, dan puisi-puisi, hampir semua karyanya berhasil tampil dengan indah dan baik. Pembaca tidak dibikin muak. Selain itu, dalam menulis Sapardi tak terkesan pretensius.

Lalu, dari semua buku-buku Sapardi di atas, mari kita tutup dengan pertanyaan pamungkas. Sudah baca yang mana?

Kalian bisa beri komentar pada kolom yang tersedia, uhukkk. Barangkali ada yang terlewat atau hal lain, mari kita diskusikan dengan catatan atas nama cinta , maaf, maksud saya atas nama Sapardi dan puisi-puisi cintanya.

Tabik.