Sastra sebagai sebuah karya fiksional memang selalu diremehkan. Tidak tanggung-tanggung bahkan stigma yang berkembang, ia tidak memiliki sebuah tugas fungsional selayak medium pengetahuan lain di semesta kehidupan.
Berbagai hal melatar-belakangi timbulnya dan semakin kuatnya stigma tersebut. Mulai anggapan subjektifitas tentang sebuah buku yang isinya hanya garapan rekaan, atau terlanjur percaya bahkan ilmu ini diracik bukan atas dasar by data. Anggapan keliru tersebut semakin subur mengidap di kepala sebagian besar manusia, justru karena tidak ada kemuan membaca-lebih – membuka horizon pengetahuan baru tentang sesuatu yang sangat fundamental (baca: prinsipil) tentang seluk-beluk sastra.

Ternyata lebih dari itu maknanya…


Nyatanya sastra lebih dari sekadar karya yang memilih fiksional sebagai pondasi bangunannya sebagai sebuah kontruksi pengetahuan. Ia dapat digali-dimaknai secara lebih radikal-mendalam, bahwa sastra atau sebuah karya – semesta kecil – yang merepresentasikan kehidupan. Bukan hiperrealitas, secara kontruksi pengetahuan memang ilmu ini disusun berdasarkan data-data kehidupan. Setidaknya, dalam memahami sastra, beberapa kata kunci harus dipahami secara jeli sebagai pisau utama. Seperti tema, alur, tokoh-penokohan, konflik, dsb.
Belum lagi turunan dari pembahasan kata kunci tersebut yang dalam membedah-memahami, diharuskan dibekali dengan pengetahuan dan sensitifitas terkait pengetahuan sosial, psikologi, sejarah, bahkan filsafat. Terlalu njelimet bukan? Nyatanya sastra tidak sesederhana yang dicerminkan stigma.
Unsur-unsur pengetahuan lain semacam sosial, psikologi, sejarah, dsb, tersebut pasalnya bukan sembarang dimasukkan dalam semesta pengetahuan. Relasi antar-pengetahuan atau sub-disiplin ilmu tersebut digunakan untuk membangun pemahaman yang lengkap – tidak sepotong-potong.
Misalnya, dalam membaca sebuah karya prosa, kita dihadapkan kewajiban memahami pemikiran Sang Tokoh ditengah konflik dan realitas data dalam cerita. Mustahil, kita mampu memahami tanpa mengajak nalar kita menganalisa tentang sejarah dan data sosial apa yang sedang dihadapi oleh keberadaan Sang Tokoh. Atau lebih mendalam, kita diwajibkan melakukan psikonalisa Sang Tokoh untuk memahami penokohan, baik pengalaman hidup, motif personal, pergulatan jiwa, atau bahasa-bahasa istilah lainnya.

Gabungan antara beberapa prosa


Relasi antar-pengetahuan tersebut, seperti sesederhana di atas, tidak hanya dibutuhkan dalam memahami satu tokoh. Karena kita tahu, sastra – setidaknya prosa – berisi rentetan tokoh dengan motif kehidupan yang berbeda, membawa data sosial yang berbeda, bergulat dalam realitas yang sama membentuk jalinan konflik yang dinarasikan menggunakan bahasa yang indah-cair menjadi sebuah cerita utuh yang siap dibaca sebagai sebuah buku. Singkatnya, memahami sastra berarti menceburkan diri untuk turut memahami sub-disiplin ilmu pengetauan lainnya.
Begitu lengkapnya isi yang dikandung sastra. Maka tidak heran jika ada sebuah kredo bagi pembaca-pembaca, bahwa membacanya adalah membaca kehidupan. Kompleks dan ber-isi-nya yang tertuang di sini, menumbangkan stigma yang selama ini berkembang bahwa sastra adalah produk yang tak fungsional.
Perdebatan akan term fungsional tersebut seharusnya tidak akan muncul jika kita berkenan memperdalam – barang sedikit – kandungan sastra sebagai pengetahuan. Melaluinya kita diajak membaca lebih tentang manusia dengan segala isi psikologis dan tindakan sosialnya. Melalui sastra kita diajak membaca lebih mengenai realitas-konflik sosial yang selama ini terjadi di sekitar kita. Melalui sastra kita diajak membaca rentetan sejarah untuk memahami kontruksi berpikir mengenai latar yang ada di dalamnya. Begitupun nilai fungsional yang ada dalam sub-disiplin pengetahuan lainnya yang dibutuhkan, dapat kita anggap nilai fungsional bagi sastra pula.
Bahkan sastra sebagai representasi semesta kehidupan, tidak hanya sebagai objek pembacaan-pengkajian, melainkan memiliki wajah lain sebagai subjek dalam menyumbangkan data dan menopang kehidupan ke arah yang ideal – yang lebih baik.