Belakangan ini publik dibuat geger dengan pernyataan Menteri Agama, Fachrul Razi yang menyatakan bahwa program sertifikasi ulama yang sudah dibahas oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin akan segera digulirkan dalam waktu dekat.

Bermula dari sebuah forum ilmiah, Menag mengungkapkan persepsinya mengenai gejala penyebar paham radikalisme di masyarakat. Ia mengutarakan bahwa salah satu ciri yang terlihat adalah kehadiran seorang “Good-Looking”, yaitu seorang ulama dengan penampilan menarik seperti fasih berbahasa Arab, hafal Al-Qur’an, pakaian ‘alim, dan sederet penampilan fisik lainnya yang mengarah pada “Arabic-sentris”.

Hal ini tidak jauh berbeda dari apa yang Ia sampaikan di akhir tahun 2019, atau tepatnya tidak jauh setelah pelantikan Kabinet Jokowi jilid II. Menag yang berlatar belakang militer ini juga mengeluarkan pelarangan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bercadar.

Persepsi Menag mengenai kriteria pembawa paham radikal ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Beberapa tokoh menganggap ucapan Menag ini menggeneralisir fenomena radikalisme yang pernah terjadi di Indonesia. Di sisi lain, beberapa orang menilai bahwa pernyataan Menag ini hanya sebuah persepsi, bukan sebuah generalisasi. Menag justru menaruh perhatian lebih pada gerakan deradikalisasi. Kamaruddin Amin, Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam merupakan salah satu yang mengafirmasi pendapat ini.

Menag menindaklanjuti analisisnya mengenai gerakan deradikalisasi ini dengan sertifikasi muballigh atau penceramah. Publik pun ramai mencaci Menag. Beberapa menilai bahwa Fachrul Razi adalah “Menag rasa Menhan”. Publik ingin mengembalikan fungsi Kementerian Agama kepada fungsinya, tidak merebut wilayah Kementerian Pertahanan.

Meninjau Sertifikasi Ulama di Masa Kolonial

Sebagai mahasiswa sejarah, saya selalu tertarik untuk flashback ke masa lalu yang berkesinambungan dengan masa sekarang. Sejarah difungsikan kalangan sejarawan layaknya kaca spion yang menjadi “penasehat” kendaraan untuk melaju. Begitupun halnya dengan fenomena sertifikasi ulama, mari kita mengulas kembali kondisi Ulama pada masa awal-awal Belanda menjajah bumi pertiwi.

Terdapat dualisme dalam motif Belanda menjajah Indonesia. Belanda memiliki optimisme yang kuat dalam keberhasilan proses penjajahan. Namun di sisi lain, Belanda menyimpan ketakutan pada Islam. Belanda menganggap bahwa Ulama yang berhaji adalah bibit-bibit pemberontak dan menganggap Islam memiliki kesatuan organisasi yang berpusat di Turki Usmani, layaknya Kristen di Vatikan.

Ketakutan ini terpecahkan setelah kedatangan seorang peneliti Belanda bernama Snouck Hurgronje. Ia meneliti Islam secara mendalam, bahkan rela berpura-pura masuk Islam supaya bisa tinggal menetap di Mekah untuk meneliti Islam . Selain di Mekah, ia juga meneliti Islam di Aceh.

Singkat kisah, Pemerintah Kolonial Belanda mendapatkan pemahaman Baru akan Islam dan bagaimana cara menundukkan daerah jajahnya yang mayoritas Muslim. Dibuatlah sebuah kalangan priayi baru dari kalangan Ulama dengan cara menjadikan Ulama sebagai tangan kanan Belanda dalam mengawasi jalannya kegiatan umat Islam. Ulama inilah yang kemudian dinamai Ulama penghulu.

Dampak yang terjadi adalah pergesekan di kalangan ulama itu sendiri. Ulama penghulu mengawasi ulama pesantren dan ulama yang tidak termasuk birokrasi pemerintah kolonial. Gesekan ini terjadi dengan tingkat yang berbeda-beda, mulai yang sangat kontras hingga gesekan yang cukup adaptif.

Efektifkah Sertifikasi Penceramah Ala Menag Fachrul Razi?

Salah satu guna sejarah adalah untuk referensi dalam mengambil tindakan di masa yang akan datang. Ketika Menag Fachrul Razi mengesahkan sertifikasi Penceramah adalah munculnya klasifikasi dan strata sosial dalam tubuh ulama. Sangat mungkin muncul adanya gesekan antar ulama yang satu dengan yang lain.

Lebih dari itu, saya berpendapat bahwa gelar dan pengesahan ulama itu hanya bisa dilabeli oleh Tuhan dan semata-mata masyarakatlah yang berhak menilainya. Jika dilihat dari sejarahnya, penamaan “Kiai” adalah gelar yang disematkan masyarakat. Artinya, gelar ini bukan sesuatu yang bisa diberikan oleh dirinya sendiri atau bahkan oleh pemerintah. Jelas-jelas, hal ini sangat kontradisktif dengan adanya sertifikasi Ulama yang dicanangkan oleh Menag Fachrul Razi.