Saya suka nggak habis pikir sama kamu-kamu yang sudah putus terus mendoakan mantan agar bahagia. Apalagi kalau putusnya karena blio memilih orang lain, haduh. Nggak ngerti. Asli!

Ketika hatimu terluka, kamu yakin saat itu bisa mendoakan sang mantan bahagia bersenda gurau mesra dengan orang lain? Jiaaah… Udah nggak zamannya “menikmati” sakit hati, Kak! Kalau dia sendiri ‘egois’ nggak mikirin kebahagiaanmu, kenapa kamu harus mendukung keegoisannya?

Terus dengan berharap mantan bahagia, apakah itu berarti kamu juga bakalan (ikutan) sedih kalau ternyata hubungan mantan dan pacar barunya rusak? Saya rasa, hati kecil kamu bakal lebih memilih teriak kegirangan daripada nangis bombay (sok) peduli dengan perasaannya. Apalagi kalau kamu masih cinta dan belum punya pacar baru.

“Aseeek, ada kesempatan balikan!” Taruhan, pasti kalimat itu ada di hati kamu, walaupun cuma satu persen (sementara 99 persen lainnya bersorak ‘sukuriiin’).

Jadi setelah kamu dilepeh ditinggalkan, pikirkan masak-masak apa benar kamu ‘rela’ mendoakannya bahagia dengan pilihannya?

Memangnya blio mau “membayar” momen broken heart yang bikin kamu seperti ‘hidup segan mati tak hendak’ gitu? Ketika kamu jadi nggak napsu makan meskipun sedang ditraktir makan di hotel bintang lima, atau kamu jadi nggak mau ikutan pesen paket BTS Meal karena malu sama abang Gojek yang ngeliat mata kamu sembab terimbas pandemi nangis berhari-hari.

Bahkan kamu merasa bersalah ketika tanpa sadar ngakak guling-guling nonton acara komedi “Lapor, Pak!” “Ah, mengapa saya tertawa seperti ini? Saya kan sedang berduka.” Begitu kata batinmu. 

Oemji! Apa mantan kamu peduli dengan kerugian-kerugian kamu itu? Padahal yang setiap hari kamu lakukan adalah mendoakannya supaya bahagia dengan orang lain!

Bangun! Rugi tingkat dewa ini!

Ada yang bilang, mendoakan mantan bahagia itu sebagai bentuk manifestasi kebesaran hati. Tapi coba dipikir baik-baik, yakin hati kamu masih “besar” setelah sukses diiris kecil-kecil, digoreng kering dan dibiarkan melempem oleh sang mantan? Jangan-jangan, yang “besar” itu mulutmu saja, sementara hatimu berontak.

“Saya nggak mau dia bahagia dengan pilihannya, saya mau dia bahagianya dengan saya!”

Akui saja kalau itu manifestasi yang sebenarnya dari hatimu yang tengah jejeritan. Nggak perlu ngelak, karena itu sangat manusiawi. Toh kita hanya mengadu pada Yang Kuasa, dan menjerit dalam doa.

Paling nggak, kita tidak mendoakan hal yang buruk buat mantan. Misalnya, “Semoga do’i cepet putus dengan pacar barunya.” Atau, “Semoga ortu pacar barunya nggak sayang sama dia.” Dan contoh-contoh lainnya dari doa bernuansa iri hati. Saya percaya, doa seperti ini justru suatu saat bakal balik ke diri kita sendiri. Maunya nggak gitu kan?

Atau jangan-jangan, ‘mendoakan mantan bahagia’ adalah bentuk harapanmu supaya doa tersebut ‘berbalik’ juga ke kamu? Artinya, kamu berharap Tuhan memberikan kebahagiaan ke kamu sebagai berkah karena kamu telah mendoakan sang mantan bahagia.

Ya kaleee mau mendoakan diri sendiri kudu ‘puter-puter Jakarta – Ancol – Monas lewat Harmoni’ seperti lagu anak-anak jadul Kring Kring Goes Goes. Lha kenapa nggak langsung aja sih berdoa untuk kebahagiaanmu sendiri?

“Semoga saya bisa lebih bahagia dari dirinya.” Atau, “Semoga saya bisa cepat melupakan dirinya dan dapat pacar baru.” Doa-doa seperti itu buat saya lebih bisa membangkitkan asa yang sebelumnya luluh lantak tak berdaya.

Jadi, cobalah untuk realistis. Daripada mendoakan supaya mantan bahagia dengan orang lain, lebih baik mendoakan kebahagiaan diri sendiri.

Editor : Hiz

Foto : Liputan6