Siapa yang tak mengenal sosok seorang Ulama dan Sastrawan besar yang dilahirkan di Sumatera Barat ini. Haji Abdul Malik Karim Amrullah mungkin akan asing bagi kalangan masyarakat sekarang. Namun ketika mendengar nama Buya Hamka, sudah pasti pernah dengar namanya, sosok di balik penyusun Tafsir al-Azhar ini.

 Pada umur 15 tahun Ninik-mamak beliau menetapkan gelar dengan nama Datuk Andimo. Malik (nama kecil Hamka) lebih sering menghabiskan waktu kecilnya sebelum berangkat ke Tanah Suci Mekkah di danau Maninjau Sumatera Barat. Di danau itu ia bisa meliat pemandangan yang indah dan merasakan ketenangan hati serta jiwa yang dekat dengan Alam. Menandakan bahwa Hamka sudah sedari kecil sebagai sosok seorang pemikir tasawuf modern.

Buya, sapaan akrab beliau, adalah seorang Imam Besar Masjid Al-Azhar pada era orde lama. Tahun 1960, perpolitikan di Indonesia sedang berkecamuk dan jauh dari kata aman bagi para umat beragama terutama kaum muslimin. Benar saja, pada 27 Januari 1964 Buya Hamka seorang Imam Besar Masjid Al-azhar, ditangkap dan ditahan oleh rezim orde lama yang waktu itu dikuasai Partai Komunis.

Dengan kata lain, awal terjadinya penangkapan terhadap buya adalah ketika Buya tidak sepakat atas penerapannya sistem Demokrasi terpimpin oleh soekarno, dan dimulai dengan isu plagiarisme novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka, hingga akhirnya mencapai puncaknya mereka menuduh Buya atas keterlibatan Kudeta terhadap Soekarno. Serta Buya juga aktif di partai masyumi yang sangat tidak di inginkan oleh PKI, sehingga peran PKI untuk mempengaruhi soekarno untuk menangkap Buya berjalan lancar.

Di dalam artikel H. Amiruddin yang berjudul Mengenang Almarhum Prof. Dr. Hamka, beliau menyampaikan:

“Buya Hamka yakin dia tidak bersalah, sebab laporan itu palsu. Semua punya alibi. Tetapi skenario sudah diatur dan mereka harus mengaku. Ada yang sampai batuk keluarkan darah karena pukulan, atau dilistrik seperti H. Ghazali Syahlan, dan juga H. Dalari Umar benar-benar disiksa. Bertahan disiksa. Memang itulah undang-undang pemeriksaan, harus mengaku, menurut skenario yang ada.”

Ketenangan Jiwa dan Karya Buya Hamka

“Apa jadinya jika aku tak mendekam di penjara. Sangat boleh jadi Tafsir Al-Azhar tak akan pernah aku selesaikan. Terima kasih karena Engkau telah memberikan tempat yang sepi dan intim untuk menyusun ilmu pengetahuan.” Kata Hamka dalam salah satu karya tulisannya.

Benar saja, Hamka beserta tokoh-tokoh masyumi lainnya ditahan dalam penjara dan ia lebih memilih fisik dan otaknya tidak rusak daripada disiksa dan tidak bisa lagi berkarya walaupun pengakuan olehnya pahit dan palsu. Selama 2 tahun 4 bulan dalam penjara, di dalam tahanan itulah beliau menyelesaikan Tafsir Al-Azharnya, Tafsir yang saat ini jadi acuan bagi umat islam Indonesia.

Buya Hamka adalah seorang filsuf Modern yang bebas dari jeruji jiwa hitamnya sehingga tidak mengakhiri hidupnya seperti seorang filsuf pertama yunani kuno, Socrates. Socrates mengakhiri hidupnya lantaran atas penghormatan terhadap pengadilan Athena yang memvonisnya mati sehingga ia mendahului vonis tersebut.

        Buya bukan seperti Socrates yang mengakhiri hidupnya. Buya lebih ikhlas dan tenang serta mau memaafkan atas rezim yang telah menahannya dan melanjutkan hidupnya dengan karya hasil tangan dan pemikirannya. Terlihat jelas bahwa tasawuf modern Buya mengajarkan perihal penerimaan dan perdamaian atas apa yang telah ditetapkan.

Berdamai dengan Semesta hingga Ketetapannya

Saat runtuhnya Orde Lama pada tahun 1966 Buya Hamka dan beberapa tokoh lainnya dibebaskan. Buya disambut oleh puluhan ribu umat islam di Mesjid Al-Azhar atas kerinduan mereka terhadap kehadiran seorang Ulama Besar.

Semesta telah ditetapkan atas apa yang telah dikehendaki-Nya,Buya berhasil menyelesaikan Tafsir Al-Azhar dibalik jeruji rezim yang telah menyiksa, menganiaya hingga memenjarakan orang orang yang tidak berdosa. Buya adalah sosok seorang yang rendah hati dan menerima atas apa yang telah menimpanya selama menjalani hidup di alam semesta.

 “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku”.

 Seperti itu kira-kira pesan Soekarno sebelum ajal menjemputnya. Tidak ada dendam dan marah bagi Buya terhadap Soekarno. Akhirnya ia dipertemukan dengan Soekarno saat menjadi Imam salat jenazahnya. Dengan ikhlas dan penuh cinta, Buya bersedia mengabulkan pesan Soekarno tersebut tanpa rasa benci.

 Sosok Buya adalah sosok seorang yang patut kita jadikan tauladan dalam menjalani kehidupan di alam semesta ini. Sosok yang mempunyai jiwa bertualang menapaki jejak-jejak sunyi, namun memberi manfaat dan pelajaran yang sangat berharga. Ia berhasil berdamai dengan keadaan yang menghampirinya, sehingga ia bisa lebih dekat kepada Allah dengan khusyuk meski menghadapi cobaan jeruji besi rezim saat itu.