Ahad sore (13/09), media sosial dikejutkan oleh peristiwa yang menimpa seorang pendakwah berkewarganegaraan Indonesia pada acara wisuda tahfidz Al-Quran di Masjid Falahudin, Bandar Lampung. Pasalnya, Ali Saleh Mohammed Ali Jaber atau yang lebih dikenal dengan Syaikh Ali Jaber, penceramah dalam kegiatan tersebut mendapat tikaman dari orang tak dikenal yang mengakibatkan luka tusuk di lengan bagian kanan dan mengharuskannya mendapat 10 jahitan.

Setelah sekian peristiwa penyerangan serupa yang menimpa para ulama di negeri ini, kejadian yang dialami Syaikh Ali tentu turut menjadi perhatian yang sama. Terlebih, sosok ulama yang dikenal sering menyebarkan keutamaan Al-Qur’an dan menjadi juri dalam program religi Hafiz Indonesia tersebut tampaknya bukanlah sosok yang kontroversial, suka memprovokasi, apalagi mengadu domba. Beliau, seperti pengalaman saya beberapa kali melihat secara langsung ketika mengisi kajian di daerah saya atau pun di kampus, selalu menampakkan pembawaan yang menyejukkan. Tidak heran jika apa yang terjadi pada beliau sore itu mendapat perhatian khalayak dan menimbulkan berbagai asumsi publik, terutama pada motif dari pelaku penyerangan.

Penusukan Syaikh Ali Jaber

Penikaman pada Syaikh Ali tentu saja bagian dari takdir Allah, begitu halnya keselamatan beliau. Tidak ada yang bisa menghentikan takdir tersebut meski banyak pasang mata menatap saat itu. Tidak pula ada yang dapat memperlambat, atau mempercepat kejadiannya. Ini adalah keniscayaan bahwa pengetahuan Allah sangat luas, sedang kita tidak. Kita pun tidak tahu bagaimana akhir dari jalannya acara seandainya peristiwa tersebut tidak terjadi. Namun, terlepas banyaknya asumsi yang saat ini beredar luas, ada beberapa pelajaran yang dapat kita ambil dari penusukan yang menimpa Syaikh Ali.

Setiap Orang Pasti Diuji

Seperti Syaikh Ali, kita juga berpotensi mendapat ujian dan cobaan. Allah menyiapkan pertumbuhan diri kita dengan banyak cara. Melalui kegagalan, harapan-harapan, duka cita, juga orang-orang yang datangnya hanya memarut luka.

Beberapa patah hati mungkin membuat kita terperosok dalam kubangan kesedihan yang dalam. Tapi konflik dan frustasi dalam taraf sedang, menurut Gustav Jung, merupakan kondisi terbaik bagi pertumbuhan ego dan hal-hal yang membuatnya dapat berkembang. Masalahnya, betapa sering kita berpikir bahwa Allah hanya menguji kita dengan cobaan-Nya, padahal itu tidak benar. Allah juga menguji kita dengan kemudahan. Dia menguji kita dengan na’im, dengan hal-hal yang kita cintai—justru dalam ujian bentuk ini, kebanyakan dari kita gagal.

Kita Punya Senjata Ampuh

How happy being a muslim, setiap yang menimpanya adalah kebaikan. Jika dia bersyukur; jika bersabar.

Dalam psikologi Islam, sabar ditinjau dengan pendekatan psikologi positif. Kesabaran digambarkan sebagai sifat positif terhadap musibah yang kita alami. Beberapa studi menunjukkan bahwa mereka yang dapat bersabar (dalam konteks spiritual) cenderung memiliki pandangan lebih positif dan kualitas kehidupan yang lebih baik. Hal ini dikarenakan ketika kita berpikir bahwa akan ada reward dari hal-hal yang kita lakukan, sistem saraf kira akan merilis serotonin yang akan membuat kita menjadi lebih sabar.

Keyakinan bahwa kita akan mendapat pahala selepas kesabaran yang kita upayakan membuat proses kognitif akan mengarah pada sikap positif terhadap musibah atau kesengsaraan yang kita alami. Alih-alih fokus pada kesulitan yang dialami, kita justru lebih fokus ke pahalanya nanti. Hal yang sulit, tapi mungkin. Syukur pun sama, bukan bahagia yang menciptakan syukur. Tapi karena syukur, kita dapat menjadi bahagia. Itulah dua senjata bagi seorang muslim untuk mendapatkan kunci surga. Surga begitu mahal, dan sabar serta syukur adalah nilai tukarnya.

Gila Bukan Diagnosis Gangguan Mental

Masyarakat umumnya mengira orang dengan diagnosa medis skizofrenia, Orang Dengan Gangguan Kejiwaan (ODGJ), atau Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dengan sebutan gila. Padahal, gila bukanlah suatu diagnosis gangguan kejiwaan; ia adalah stigma. Tidak tepat menyebut orang dengan masalah kejiwaan dengan kata-kata yang memiliki konotasi negatif. Sebab gangguan jiwa adalah suatu kondisi yang dapat memengaruhi pikiran, perasaaan dan perilaku seseorang—kondisi yang sangat mungkin terjadi kepada siapa pun, termasuk kita yang saat ini merasa baik-baik saja.

Dalam kasus Syaikh Ali Jaber, asumsi soal pelaku yang mengalami gangguan kejiwaan banyak beredar. Masyarakat awam yang kurang edukasi terkait permasalahan mental justru salah kaprah dengan penyebutan suatu gangguan kejiwaan ini. Padahal, sebuah stigma sangat tidak baik bagi perkembangan prognosis para survivor.

Terlepas dari apakah benar pelaku mengidap gangguan kejiwaan, pakar psikolog forensik Reza Indragiri Amriel telah memberikan pendapatnya. Menurut Reza, penyerangan terhadap Syaikh Ali bukan faktor alamiah. Kondisi kejiwaan pelaku perlu dicek dengan benar; pihak yang bertanggungjawab terhadap penderita dapat dikenai pidana karena lalai hingga membahayakan orang; dan agar kasus penyerangan terhadap ulama tidak buru-buru dihentikan dalam tahap penyelidikan hanya karena diagnosa gangguan kejiwaan. Sebab di persidangan, hakim dapat merekomendasikan para pelaku agar mendapat perawatan semestinya di rumah sakit jiwa.

Akhirnya, semoga Allah senantiasa menjaga, melimpahi keberkahan, dan memberikan kasih sayang pada ulama dan guru-guru kita.

Penulis: Zulfa Rahmatina

Penyunting: Aunillah Ahmad