Berbicara tentang sepak bola Indonesia, Jateng adalah provinsi yang tak bisa disepelekan kiprahnya. Dari dua provinsi yang memiliki kedekatan wilayah dan budaya ini , terdapat tiga dari tujuh klub yang menginisiasi berdirinya Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Tiga klub itu ialah Persis Solo, PPSM Magelang dan PSIM Jogja.

Kiprah tim Jateng dan DIY di liga juga tak bisa dianggap sepele. Di era Perserikatan, Persis Solo merengkuh tujuh gelar juara, terbanyak kedua setelah Persija Jakarta. Kemudian di era Liga Indonesia, PSIS Semarang merengkuh satu gelar juara  Cukup membanggakan.

Meredupnya tim sepak bola di kedua wilayah ini

Namun, pernah ada di suatu masa di mana tim asal Jateng dan DIY mulai meredup sinarnya. Saya jadi teringat 2011 silam, kala membaca salah satu opini yang membahas Persijap Jepara sebagai satu-satunya wakil dan harapan yang tersisa di ISL 2011. Naasnya, Persijap terdegradasi di akhir musim.

Beruntung bagi Persijap yang tak jadi turun kasta karena dualisme liga. Persijap tetap bertahan, ditemani Persiba Bantul yang naik kasta ke kasta tertinggi kala itu (IPL 2012). Miris, kedua tim tersebut  tak mampu bersaing di papan atas, dan terdegradasi di musim yang sama, ISL 2014. Dan praktis Jateng dan DIY tidak punya wakil di kasta teratas sejak saat itu hingga Liga 1 2017.

Kendati tak mampu berbicara banyak, geliat sepak bola Jateng tak pernah berhenti. Malah di masa suram itu, tim asal Jateng dan DIY menyusun asa untuk kembali berbicara banyak di liga masa depan. Asa itu perlahan menampakan hasilnya, dimulai dengan promosinya PSIS pada 2017, kemudian disusul PSS Sleman setahun setelahnya.

PSIS dan PSS adalah awal kebangkitan, dan saya pikir awal itu tak akan cepat menemui akhir. Spirit PSIS dan PSS itu bakal tertular ke tim Jateng dan DIY lain. Mengapa saya beranggapan demikian? Ada banyak alasan untuk mengatakan bahwa masa depan sepak bola Jateng dan DIY bakal cerah ke depan.

Perbandingan dalam hal fasilitas

Kita mulai dari infrastruktur. Jateng dan DIY memiliki stadion-stadion berstandar. Ada Jatidiri, Manahan, dr. Moch. Soebroto, Mandala Krida, Maguwoharjo, Sultan Agung, dll. Hebatnya, dari semua stadion yang saya sebutkan tadi, kesemuanya digunakan sebagai homebase klub di masing-masing kota. Di sini kita melihat adanya dukungan baik dari pemerintah setempat akan mengeliatnya sepak bola daerah.

Kasus berbeda di wilayah lain, misalnya Jawa Barat yang juga memiliki banyak stadion megah, yang mirisnya klub-klub di Jabar sering kesusahan untuk menggunakan stadion-stadion tersebut. Selain Jawa Barat, kasus semacam itu juga bisa kita temukan di provinsi lain seperti Kalimantan Timur dan Riau. Di mana stadion megah nyaris jarang tersentuh klub lokal. Sementara di Jateng, stadion-stadion megah itu hadir untuk mendukung majunya tim kota setempat.

Selain infrastruktur, alasan lain soal bakal majunya sepak bola Jateng dan DIY adalah dengan melihat animo suporternya. Aspek ini penting bagi sepak bola modern, terutama sebagai penunjang perihal bisnis, baik bagi investor maupun bagi sponsor. Semakin besar animo suporter, semakin besar pasar yang dijanjikan.

Kekuatan dari suporter tidak boleh diremehkan

Suporter bukan hanya perihal ladang bisnis investor dan sponsor, tapi suporter pula lah yang nantinya bakal menjalankan visi tim ke depan. Kasus paling apik adalah melihat kiprah PSS Sleman beberapa tahun ke belakang. PSS yang tadinya hanya klub kabupaten, yang di masa lalu kiprahnya juga tak sementereng Persis dan PSIS, bahkan tak sementereng klub tetangga PSIM. Lambat laun menjadi klub yang mulai diperhitungkan kini.

Ada andil besar BCS dan Slemania di sana yang turut membangun PSS dari bawah. Contoh nyata adalah bagaimana Sleman Fans membangun basis, dan sumber daya suporter. Seiring basis yang kian membesar, Sleman Fans membuat gebrakan, seperti membudayakan “No Ticket No Game”. Budaya itu tak hanya mampu menghidupi klub dari penghasilan tiket, namun juga membangun citra baik yang membuat sepak bola Jateng dan DIY naik derajatnya di mata nasional.

Soal animo suporter, atmosfer suporter di Jateng dan DIY bisa dibilang cukup merata. Tidak hanya dimiliki satu dua klub besar yang nangkring di kasta teratas saja, juga tidak hanya milik tim ibukota saja. Setidaknya Jateng dan DIY memiliki satu basis besar suporter yang tumbuh dalam cakupan wilayah karesidenan.  Lebih isitimewa DIY sendiri, yang memiliki tiga basis besar.

Ini yang membanggakan, artinya lebih banyak basis suporter , lebih banyak pula klub yang siap maju. Baik secara bisnis, atau sebagai pendorong moral dari klub itu sendiri. Bandingkan dengan provinsi lain seperti Jabar, yang dalam cakupan satu provinsi, basis suporternya dikuasai Persib Bandung.

Yang lebih menarik, hadirnya basis-basis besar itu juga didorong oleh gengsi yang besarnya nyaris setara. Maka maklum jika di Jateng dan DIY memiliki banyak derbi dengan gengsi rivalitas yang sama-sama tinggi. Misalnya Derbi Jateng (Persis dan PSIS), Derbi Mataram (Persis dan PSIM), Derbi Istimewa (PSIM dan PSS), Derbi Megono (Persip dan Persibat) dll.

Berbeda misalnya di Jatim, di mana Derbi antara Arema dan Persebaya terlalu menyedot perhatian publik, hingga tim-tim lain seolah kehilangan eksposure-nya. Sementara, di Jateng, eksposure-nya nyaris terbagi rata, dengan kadar gengsi yang sama tinggi. Semakin tinggi gengsi, tentunya semakin tinggi pula motivasi untuk mengejar prestasi.

Selain infrasturuktur dan suporter, aspek lain yang tak kalah penting untuk  menerka masa depan sepak bola Indonesia, khususnya Jateng dan DIY adalah dengan melihat masa lalu. Ya, seperti paragraf di awal yang saya jabarkan tadi. Jateng dan DIY mempunyai masa lalu yang indah. Klub Jateng dan DIY hanya perlu menengok  sebentar ke belakang, lantas masa lalu itu dijadikan motivasi untuk melaju jauh ke depan. Mampukah? Entahlah, saya hanya bisa menerka, karena jawaban pastinya akan kita lihat beberapa tahun ke depan.

Editor: Nawa

Gambar: youtube.com