Sepak bola semarangan hanya pakai satu gawang?

Di sepak bola konvensional kita mengenal istilah bahwa, sepak bola itu tentang siapa yang “menang dan kalah”, atau barangkali hasil “imbang”. Maka lain dengan “sepak bola semaranganan”. Sepak bola semarangan tidak menghasilkan pemenang, pecundang atau hasil imbang, yang ada hanya “kesenangan, kesenangan dan kesenangan”.

Apalagi sepak bola semarangan ini populer di kalangan anak-anak, yang memang tujuan hidupnya cuma nyari kesenangan. Alih-alih overthinking tengah malam. Dasar dewasa!

Selain tujuan mendasar soal menang dan kalah, sepak bola semarangan juga hanya butuh satu gawang. Pun nggak butuh banyak pemain dengan bermacam posisi sebagai syarat. ‘Semarangan’ hanya butuh setidaknya tiga pemain (atau lebih), di mana dua (atau lebih) menyerang, dan satu sebagai penjaga gawang. Rulesnya sederhana, siapa yang mencetak gol, dia jadi kiper. Seterusnya begitu.

Jadi ‘Semarangan’ lebih mirip perlombaan untuk memperebutkan posisi penjaga gawang. Dan selebihnya, ‘semarangan’ tak jauh beda dengan sepak bola biasa.

Jadi, penetrasi permainan hanya berfokus ke satu titik. Sebagai pemain, jika memegang bola, maka fokusnya hanya membawa bola ke gawang. Sementara, jika sedang tidak memegang kendali bola, maka pilihannya hanya merebut, lantas gantian membawa bola gawang. Seterusnya. Sementara kiper hanya leha-leha, menanti posisinya dikudeta pemain yang berhasil mencetak  gol. Tidak ada pemain yang diumpan, semua dilakukan individu, dengan tujuan individu, dan satu arah penyerangan.

Maka nggak heran, istilah “semarangan” ini sering dipakai sebagai kritik atau cacian suatu fans sepak bola ke tim tertentu yang mainnya cenderung nggak seimbang. Alias yang menyerang, menyerang terus. Yang keserang, nggak bales menyerang. “Itu main bola apa semarangan?” Ujar para fans yang kesal dengan situasi demikian.

Dan karena dimainkan satu arah sebagai permainan individu, maka permainan ini secara tidak langsung mengasah kemampuan individu pemainnya. Semua orang diharuskan bisa menyerang, bertahan, dan bahkan harus siap menjadi penjaga gawang. Atau kalau diistilahkan lebih kekinian, semua anak dituntut untuk menjadi pemain yang generalis.

Selain itu, dulunya di kampung saya sering terjadi ketimpangan skill individu antar posisi dalam sepak bola biasa. Di mana anak yang merasa memiliki skill di atas rata-rata, selalu berlomba menjadi penyerang. Sebaliknya, anak dengan merasa skillnya pas-pasan seperti saya, cenderung lebih sering menjadi pemain bertahan. Dan, posisi penjaga gawang, merupakan posisi yang jarang terisi dan jarang diminati. Nah, di sinilah sepak bola jenis ini benar-benar dibutuhkan.

Penggunaan satu gawang juga berguna sebagai ajang untuk mengeksplorasi kemampuan yang masih teka-teki. Siapa tahu, anak yang tadinya lebih sering jadi penyerang, ternyata lebih berbakat sebagai penjaga gawang. Bukankah Buffon dulunya seorang penyerang? Jangan-jangan Buffon dulunya sering main ‘semarangan’ pas masih di Parma? Entahlah.

Tapi seiring bertambahnya usia dan seiring meninggalkan permainan semarangan, sejujurnya saya dulu nggak kepikiran tujuan dan pamrih neko-neko dengan permainan ini. Nggak mikirin ‘semarangan’ sebagai ajang melatih kemampuan individu, atau bahkan meng-eksplore bakat baru, bla-bla-bla, seperti ulasan di atas. Tujuan utama saya main serupa dengan paragraf pertama, cuma nyari kesenangan saja. Itu, thok.

Kesenangan yang nampak sepele, kesenangan yang dulunya hanya butuh bola plastik, tanah lapang dan sore, nyatanya kini menjadi sesuatu yang mahal. Bukan bola plastiknya yang semakin mahal, bukan sorenya yang tak lagi jingga, tapi soal tujuan. Dulu, tujuan hidup saya hanya mencetak gol dan menjadi kiper di setiap sore.  

Entah di suatu sore mana, kebahagaian itu bukan hanya perkara semarangan dan menjadi kiper setelahnya. Entah di sore yang mana, misi sederhana itu tak lagi menyenangkan. Entahlah, mungkin saya hanya men-dewasa. Apakah orang dewasa boleh bermain semarangan?

Editor : Hiz

Foto : Pexels