Arah pendidikan pada era globalisasi menjadi suatu tantangan tersendiri bagi karakter pendidikan itu sendiri. Artinya, ia harus mampu menentukan karakternya, yang mengarah pada tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan tidak boleh sebatas mengarah pada pembangunan infrastruktur dan hanya dapat dievaluasi melalui angka (nilai raport). Namun sudah harus kembali pada hakikatnya, yaitu bersifat humanistik.

Kekacauan yang terjadi akhir-akhir ini bukan karena sedikitnya orang yang sadar tentang dinamika sosial. Kontruksi sosial tentu memiliki tujuan yang heterogen. Pendidikan yang bersifat humanis akan mampu memberikan dampak keseimbangan secara global sehingga dapat menjadi salah satu opsi yang mampu menyatukan tujuan-tujuan tersebut.

Konsep pendidikan yang terkadang mengalami benturan terhadap realita sosial menjadi kajian yang tidak henti-hentinya untuk didiskusikan. Tidak sedikit sumber daya manusia dalam dunia pendidikan yang belum mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan. Pemahaman terhadap konsep yang terkadang masih konvensional tentu akan menghambat laju pendidikan itu sendiri.

Jika pemahaman pendidikan masih konvensional tentu konsep-konsep di dalamnya akan menjadi mentah karena berbenturan dengan percepatan global yang tidak mungkin dibendung. Bagimana mungkin pengajaran di kelas dilakukan hanya dengan mengunakan buku paket atau LKS, jika di luar sana perkembangan ilmu pengetahuan bisa dikejar hanya dengan membuka internet yang memiliki pengaruh lebih luas terhadap siswa.

 

Pendidikan dan Kesenjangan Sosial

Arah pendidikan saat ini masih berorientasi pada produk fisik saja, belum berorientasi pada aspek sosial. Akibatnya banyak sekali ketimpangan sosial yang belum terselesaikan dengan menggunakan teori dalam RPP, silabus, dan buku-buku paket yang disuguhkan kepada siswa. Oase yang ditawarkan adalah menguasai rumus dalam teori-teori tertentu, namun di sisi lain kesenjangan sosial masih menjadi permasalahan utama.

Tentu hal tersebut kontradiktif dengan kebutuhan pendidikan yang seharusnya membangun kepekaan sosial. Bagaimana mungkin persoalan listrik yang ada hanya mampu diselesaikan dengan teori aliran listrik? Tentu dibutuhkan rasa humanism agar terjadi hubungan timbal balik antara petugas listrik dan masyarakat sebagai konsumen, sehingga terjalin pelayanan yang baik antara petugas listrik dan masyarakat.

Berdasar contoh kasus yang ada, maka sebuah pertanyaan besar muncul. Apakah tujuan pendidikan telah terwujud? Selain itu muncul pertanyaan lain, yakni apakah pendidikan yang selama ini dielu-elukan dari segi nilai (angka) menjadi hal yang sempurna bagi seluruh masyarakat?. Konsep sekolah yang masih memuja infrastruktur akan menjadi persoalan baru yakni “Kapitalisasi pendidikan”. Maka sudah saatnya pendidikan harus dikembalikan pada hakikatnya yaitu membangun rasa humanism.

 

Guru dan Wejangan Kehidupan

Guru harus mampu menjadi fasilitator dalam kehidupan siswa. Artinya, guru tidak hanya memiliki tugas mengajar di sekolah karena sekolah bukan tempat guru mengajar, melainkan tempat murid belajar. Wejangan-wejangan, obrolan santai antara guru dan siswa justru akan menjadi ilmu pengetahuan yang selalu diingat oleh siswa ketimbang rumus-rumus yang begitu rumit. Cerita pengalaman seorang gurulah yang akan menjadikan siswa mudah belajar untuk menjadi manusia bijak.

Membangun rasa humanism akan menjadi salah satu modal pembangunan Negara menjadi lebih ramah terhadap konstruksi sosial secara menyeluruh. Pembangunan infrastruktur misalnya, akan menjadi lebih manusiawi daripada yang selama ini terjadi. Oleh karena itu guru harus memiliki peran yang lebih dari guru secara formal. Guru harus  mampu menjadi fasilitator maupun motivator  bagi siswa yang membutuhkan “teman” untuk sekedar bercerita problem kehidupannya.

Jika guru tidak mampu menjadi fasilitator yang baik, maka siswa akan banyak membagi waktu dan ceritanya kepada liarnya kehidupan di luar sekolah. Siswa akan merasa nyaman untuk menjadi pribadi yang bebas tanpa adanya wejangan dari seorang guru yang seharusnya menemani kekosongan waktu siswa ketika gundah dan galau. RPP, silabus, dan buku-buku mata pelajaran belum cukup untuk menjadi solusi pada problem kehidupan yang dinamis.

 

Penulis: Fathan Faris Saputro (Founder Rumah Baca Api Literasi)

Ilustrator: Ni’mal Maula