Penulisan mushaf berwajah puisi dalam terjemah Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia karya Hans Bague Jassin atau biasa disebut H. B. Jassin merupakan hasil dari sebuah penerimaan berdasar pengetahuan intuitif terhadap keindahan al-Qur’an. Terjemahan yang berbentuk tafsir puisi tersebut tidak terlepas dari pengaruh latar belakang Jassin sebagai seorang aktivis sastra.

H. B. Jassin merupakan mufassir nusantara yang lahir di Gorontalo, 13 Juli 1917. Beliau lebih terkenal sebagai aktivis sastra karena kiprahnya dalam bidang tersebut sangat luarbiasa sampai-sampai mendapat julukan Paus Sastra Indonesia. H. B. Jassin meninggal pada tahun 2000 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Tafsir Puisi H.B. Jassin

Meski H. B. Jassin terkenal ahli dalam bidang kritik dan dokumentasi sastra, tafsir puisi Jassin yang terbit pada tahun 1977  cukup banyak menuai kontroversi dan kritik dari berbagai kalangan. Bahkan mayoritas muslim mengklaim karya tersebut sebagai tafsir sesat.

Beberapa faktor yang menyebabkan kontroversi diantaranya adalah keyakinan i’jaz al-Qur’an yang tidak bisa ditiru, dugaan penodaan terhadap kitab sebelumnya karena maraknya variasi terjemahan, dugaan potensi penodaan terhadap al-Qur’an itu sendiri dan merupakan sesuatu yang baru dalam tradisi terjemahan untuk konteks Indonesia pada waktu itu.

Namun, bagi saya karya tersebut menjadi karya yang unik dan menjadi sebuah inovasi dalam khazanah penafsiran Indonesia sebagai wujud kesadaran religiusitas seorang sastrawan. Oleh karena itu, saya sangat mengapresiasi karya Jassin lebih sebagai salah satu karya hasil dari proses tadabbur al-Qur’an.

Menjadi hal yang wajar ketika dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Fadhli Lukman, menyebutkan bahwa salah satu problem epistemologi dalam karya Jassin adalah tidak melakukan langkah-langkah metodis yang harus diperhatikan dalam proses terjemah al-Qur’an.

Problem tersebut menurut saya muncul karena Jassin memang sedang tidak serius melakukan kerja penerjemahan tetapi sedang melakukan  kerja tadabbur. Bahkan sepengetahuan saya, al-Qur’an sendiri juga tidak pernah menentukan metode pakem penerjemahan dan atau penafsirannya. Justru al-Qur’an dengan jelas memerintahkan manusia untuk mentadabburinya (Qs. Muhammad ayat 24).

Oleh karena itu, proses tadabbur Jassin dengan melibatkan intuisi diri sebagai wujud refleksi pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an, saya rasa sah-sah saja. Wallahua’lam.

Editor: Nabhan
Ilustrator: Nimalmaula