Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 15 Januari, kita memperingati sebuah aksi pecah yang tidak akan dilupakan bangsa ini. Goresan hitam kembali mewarnai sejarah bangsa Indonesia. Peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 yang kemudian disingkat dengan Malari awalnya dipicu oleh kedatangan Perdana Menteri Jepang kala itu yaitu Kakuei Tanaka yang dijadwalkan bertemu dengan Presiden Soeharto.

 

Pada saat Presiden Soeharto dan beberapa menteri mengadakan pertemuan dengan Kakuei Tanaka, ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi dan juga pelajar turun ke jalan. Suaranya bulat, menentang investasi Jepang yang akan masuk ke Indonesia. Kedatangan Tanaka menjadi alarm bahaya bagi Indonesia waktu itu. Iring-iringan mahasiswa yang berjalan dari kampus UI di Salemba kemudian disusul gelombang massa dari seluruh penjuru di Jakarta membuat pihak polisi dan tentara was-was. Tak sedikit kelompok mahasiswa yang mengatur strategi supaya dilakukan pertemuan antara pihak mahasiswa dan pemerintah.

 

Para mahasiswa dengan suara bulat mencetuskan tiga tuntutan untuk pemerintah yang dinamakan “Tritura Baru 1974” antara lain berisi tentang; bubarkan lembaga Asisten Pribadi Presiden (Aspri), turunkan harga, lalu ganyang korupsi. Demonstran juga mulai jengah dengan fakta masuknya modal asing di Indonesia yang sudah berlebihan.

 

Tritura sendiri sudah pernah disuarakan oleh mahasiswa pada 12 Januari 1966 silam, hanya ada satu poin yang tidak berubah, yaitu untuk menurunkan harga. Rakyat menganggap kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak memihak pada pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia karena membiarkan keran dana investor mengucur deras. Kerja sama yang dilakukan pemerintah dengan pihak asing hanya akan memperburuk perekonomian negara.

 

Demonstrasi yang awalnya berjalan dengan damai dikejutkan dengan berbagai isu kerusuhan yang terjadi di sekitar Jakarta. Entah siapa yang memulai, kekacauan tidak bisa terelakkan. Beberapa fasilitas umum dan pertokoan dirusak seperti di daerah Senen, Jakarta Pusat dan Roxy, Jakarta Barat. Suasana makin mencekam ketika salah satu pertokoan daerah Senen yang baru selesai dibangun, dibakar oleh orang-orang. Penjarahan toko juga terjadi. Banyak mahasiswa yang mempertanyakan bagaimana aksi anarkis tersebut bisa terjadi. Tidak berhenti sampai disitu, kendaraan masyakat sipil juga ikut dirusak. Selama dua hari, asap tidak berhenti membumbung dari daerah Senen.

 

Banyak pendapat tentang berapa kerugian yang dialami ketika Peristiwa Malari. Salah satu pendapat yaitu dari Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta yang menjabat ketika Malari mengatakan; 522 buah mobil dirusak dengan 269 di antaranya dibakar, 137 buah motor dirusak (94 buah dibakar), 5 buah bangunan dibakar ludes, termasuk 2 blok proyek pasar Senen bertingkat 4. Serta gedung milik PT Astra di Jalan Sudirman, dan 113 buah bangunan lainnya dirusak. Proyek Pasar Senen sendiri menelan kerugian total 2,6 miliar.

 

Hingga saat ini, tidak ada jawaban atas siapa dalang dibalik kerusuhan yang terjadi saat Malari. Terlalu banyak spekulasi. Dari pihak mahasiswa sendiri mengakui, aksi mereka ditunggangi pihak yang tidak bertanggungjawab. Peristiwa ini juga menewaskan 11 orang dan membuat 128 orang luka ringan. Dampak dari Malari sendiri adalah aksi pemecatan oleh beberapa aparat negara seperti; Soemitro selaku Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban dan Sutopo Juwono yang menjabat sebagai Kepala BIN saat itu.

 

Sebagai generasi muda, sejarah ini tidak bisa kita tinggalkan jauh kebelakang bersama orang-orang yang mengingatnya. Hitam atau putih catatan bangsa ini tetap akan melekat pada identitas Indonesia, hingga kedepannya kita bisa memperbaiki apa yang terjadi di masa lalu untuk masa sekarang serta masa depan.

 

Penulis: Saraswati Nur D.

Ilustrator: Ni’mal Maula