Pada suatu malam yang nggak gelap gulita amat, saya yang kadang sering dihantui keharusan untuk sukses, berkarya untuk nusa dan bangsa, punya duit dan rumah dan tanah yang besar-besar secara sengaja menonton suatu diskusi online. Diskusi terkait motivasi tersebut diselenggarakan Schole ID itu bertajuk “Demotivasi sebagai Jalan hidup (Bersama Syarif Maulana)”. Syarif Maulana sendiri merupakan dosen filsafat di Universitas Katolik Parahyangan yang menulis buku Kumpulan Kalimat Demotivasi: Panduan Menjalani Hidup dengan Biasa-biasa Saja.

Melalui diskusi yang dipandu Amadea Svastika Lie ini, kita diajak untuk berpikir secara skeptis dan kritis terhadap kalimat motivasi yang sering dilontarkan oleh motivator-motivator kawakan macam Merry Riana atau Mario Teguh, atau mereka yang sering mendaku sebagai “motivator”. Yang dimaksud skeptis dan kritis di sini adalah; kita harus mampu membedakan Motivasi dengan “M besar” dan motivasi dengan “m kecil”. Syarif Maulana menganggap bahwa kebanyakan kalimat-kalimat motivasi yang berseliweran di mana-mana itu adalah motivasi dengan “m kecil” yang bisa dibilang sebagai toxic positivity.

Berikut adalah alasan mengapa kita harus skeptis terhadap kalimat yang terdengar motivasional menurut Mas Syarif Maulana.

Sarat Kepentingan Ekonomi yang Arahnya Kapitalistik

Menurut Syarif, motivator-motivator macam Mario Teguh atau Merry Riana selalu mengandaikan audiensnya sebagai orang-orang liberal kapitalistik dan kompetitif secara ekonomi. Hal ini terbukti dengan banyaknya motivator-motivator yang sering menggunakan kata “self” dalam pembicaraannya seperti self-development, self-esteem, dan self-self lainnya.

Coba kalo misalkan motivator-motivator itu memotivasi kaum-kaum petani komunal yang jauh dari gaya hidup urban? Apakah akan cocok? Apakah petani yang sudah terbiasa bertani butuh self-improvement dan self-self lainnya yang sering dibicarakan motivator-motivator kondang itu supaya bisa jadi petani terbaik?

Efek Psikologis dan Ilusionis

Syarif berpendapat, retorika sangat penting dalam membangun suatu efek psikologis yang mampu memberikan ilusi soal kesuksesan kepada pendengarnya. Akan tetapi, selebihnya, kalimat-kalimat yang dikemas secara powerful itu justru terkadang saling bertentangan. Misalnya, ia mengambil contoh saat Ben Kasyafani bertanya pada Mario Teguh yang kemampuan retorikanya super sekali itu: “Pak Mario, kalo kita nggak punya ekspektasi tapi kemudian menjadi sukses gimana?”

Lalu, Pak Mario menjawab, “Oh, lebih baik kita berpikir sukses tapi gagal, apa berpikir gagal dari awal? Kalo berpikir gagal dari awal itu sudah gagal,” jawabnya. Anda sudah menyadari di mana sesat berpikirnya Pak Mario?

Dia menginsinuasikan bahwa orang yang tak berekspektasi apa-apa dianggap sebagai orang yang gagal oleh blio. Padahal, ya, sukses atau tidak sukses tidak selalu dipengaruhi oleh pola pikir saja. Ada problem struktural dan ketersediaan akses. Lagipula, rezeki dari arah-arah yang tak kita duga-duga (tidak kita harapkan) itu juga jauh lebih nikmat, bukan?  

Motivasi “m kecil”

Kalimat motivasi dengan “m kecil” alias yang omong kosong ini cenderung menginginkan agar kita melampaui kapasitas diri. Contohnya, hal ini bisa kita lihat pada jargonnya Pak Jokowi “Kerja, kerja, kerja!” Sekilas, jargon ini tampak positif dan menekankan pentingnya dedikasi dalam bekerja. Namun, bagaimana mungkin kita harus bekerja keras ketika gaji yang didapatkan jauh dari kata layak? Buruh di pabrik Aice tentu tak akan kenyang jika dikasih kalimat motivasi saja, bukan?

Akan tetapi, yang berbahaya adalah ketika kita sendiri tidak tahu kalo kita sedang dieksploitasi di balik kalimat motivasional macam “Ikhlaslah dalam bekerja,” “Mari kita tinggalkan masa lalu dan menatap masa depan,” “Bekerjalah sepenuh hati karena kerja adalah ibadah”, dan sebagainya. Kalimat ini jelas bisa mengalienasi kita dari realitas yang sebenarnya.

Hidup Butuh Motivasi

Pada akhirnya, hidup memang butuh motivasi. Toh, Anda yang membaca artikel ini juga termotivasi untuk baca, kan? Motivasi memang menggerakkan kita untuk melakukan sesuatu dan itu sebetulnya baik. Namun, Mas Syarif menekankan bahwa ini loh ada alternatif cara pikir lain (demotivasi) yang bisa menjadi antitesis terhadap kalimat motivasi yang menjemukan.

Mas Syarif tidak mengajak kita untuk jadi orang yang asalnya motivasional optimistik menjadi demotivasional pesimistik. Ia justru mengajak untuk bisa lebih skeptis dan kritis terhadap kalimat motivasi agar hidup kita bisa lebih tenang dan santuy dan agar tidak terjebak dalam optimisme yang berlebihan. Karena terkadang, bersikap demotivasional pesismistik itu perlu dalam keadaan tertentu.

Seperti kata Emil Cioran yang ia katakan di akhir: Tak ada yang bunuh diri kecuali orang-orang optimis. Mereka bunuh diri karena gagal dalam memenuhi ekspektasinya. Orang-orang pesimis, di sisi lain, tak punya alasan untuk bunuh diri. Wong untuk hidup saja mereka tak tahu alasannya apa. Ngapain nyari alasan untuk mati?

Editor: Nirwansyah

Gambar: Ekopolitan.com