Selayak mata koin, kehidupan ekosistem film dengan masyarakat tidak bisa dipisahkan. Perkembangan ekosistemnya mengharuskan dukungan yang besar dari masyarakat. Selain memproduksi untuk kepentingan dunia hiburan, ekosistem film juga seringkali menyisipkan konten-konten realitas yang ada di masyarakat. Dari beragam tema isu sampai problematika yang tengah tumbuh di kehidupan masyarakat.

Film dan Distribusi Pengetahuan

Perkembangan ekosistem film yang semakin modern, ditambah kencangnya arus modal yang ada di industrinya, melahirkan banyak praktik-praktik permasalahan di balik sisi layar kemajuan karya itu sendiri. Salah satunya adalah distribusi film yang tidak terjangkau oleh masyarakat luas.

Film bukanlah sebuah produksi konten yang hanya diperuntukkan untuk kepentingan dunia hiburan. Fllm juga mengemban amanat tugas sebagai medium distribusi pengetahuan. Terlebih, karya ini adalah satu dari yang paling digemari dan dapat menjangkau lintas usia.

Namun, di tengah kemajuan perkembangan ekosistem film, kapitalisme yang hanya mengorientasi pada bisnis berhasil mengapitalisasi dengan menyempitkan makna hanya sebagai objek mengeksploitasi keuntungan. Akibatnya, karya tersebut hanya mampu dinikmati di layar-layar bioskop yang secara keberadaan tidak merata di setiap wilayah. Ditambah, harganya yang tidak terjangkau menjadikan ia sebagai sebuah pengetahuan semakin tidak terdistribusi secara merata.

Fenomena Nobar dari Akar Rumput

Menjawab probematika tersebut, akhir-akhir ini tumbuh fenomena baru dalam mengonsumsi sebuah film. Gerakan alternatif menonton bersama yang lebih dikenal dengan istilah nobar (nonton-bareng) ramai dilakukan oleh lapisan akar rumput masyarakat di berbagai daerah. Mulai dari lapangan desa, kantor kelurahan, halaman sekolah, sampai warung-warung dan rumah warga sesekali bertranformasi menjadi layar lebar – sebuah fenomena yang luar biasa.

Problematika distribusi film sebagai pengetahuan yang selama ini terhambat, mampu dijawab melalui usaha swadaya dan gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat, melalui inisiatif beragam komunitas dan organisasi yang ada.

Masyarakat luas yang selama ini jauh dari hingar bingar hiburan ala perkotaan, mendapatkan kesempatan mengonsumsi film sekaligus pengetahuan yang dikandungnya. Fenomena ini semakin menarik ketika dukungan dari berbagai rumah produksi film yang melakukan kebijakan progresif, seperti memproduksi karya yang dekat dengan permasalahan masyarakat, sekaligus berani mendistribusikan langsung menghantam tembok-tembok yang selama ini dibangun oleh status quo industri.

Alternatif Sekaligus Inklusif

Gerakan alternatif yang kadung menjadi fenomena tersebut membawa arus baru yang sangat bermanfaat terhadap perkembangan dunia literasi di masyarakat. Bukan tanpa alasan, literasi yang mandek di masyarakat bukanlah disebabkan masyarakat yang enggan menjangkaunya, melainkan hanya pada rantai distribusi yang sulit untuk diakses secara merata.

Fenomena alternatif tersebut sekaligus mengubah wajah ekosistem film itu sendiri. Yang selama ini hanya mampu dikonsumsi oleh kelas masyarakat tertentu, berubah menjadi konsumsi oleh beragam kelas di masyarakat.

Interaksi yang terjalin pun menambah kosa kata metodologi baru dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Interaksi yang dilakukan melalui diskusi terbuka setelah proses nobar, sampai obrolan ringan selama pemutaran menjadi gelombang timbal-balik dalam bertukar informasi dan pengetahuan.

Kesan perbedaan yang selama ini hidup di masyarakat, antara kelas berpendidikan dengan kelas yang-tak-berpendidikan menjadi terjembatani dengan keberadaan film dan gerakan alternatif tersebut. Melaluinya, berhasil menampilkan esensi alamiah yang dikandungnya, yakni sebagai subjek yang inklusif dalam rantai distribusi pengetahuan.

Editor: nawa

Gambar: Menonton.id