Dengan wajah surgawi seperti tanpa dosa Halimah menanyai saya tentang kiat-kiat membangkitkan hasrat menulis. Mungkin saja Pimpinan Redaksi Millenialis.id yang berkacamata itu penasaran –atau demi menunaikan tugasnya selaku moderator–sesungguhnya Halimah tengah mengira-ngira apa yang dapat dilakukan kontributor pemalas dan dengan kapasitas otak kecil macam saya ini ketika sedang macet menulis. Dalam bahasa yang lebih bermartabat, kita bisa sebut situasi itu dengan Writer’s Block.

Jujur saja, pertanyaan jenis itu adalah pertanyaan yang menjengkelkan. Apalagi harus segera dijawab dalam keadaan koneksi internet yang tidak stabil dan orang-orang di dalam mobil yang berisik seperti mau reuni 212.

Saya malas untuk menjelaskan konteks kalimat barusan, saudara pembaca yang tak paham sila tanyakan pada peserta Obrolan Millenialis edisi spesial kontributor, yang digelar pada Ahad, 27 Desemeber 2020 di ruang aplikasi Zoom.

Pertanyaan Seputar Menulis

Balik lagi, sesaat setelah mendengar pertanyaan Halimah itu, apa boleh buat, saya tak ada pilihan lain kecuali harus menjawab pertanyaan seputar menulis yang sudah ribuan bahkan mungkin jutaan kali diulang-ulang dan ditanyakan kepada masternya: AS Laksana, Agus Noor, Puthut EA, Goenawan Mohamad dan banyak penulis produktif lainnya.

Dengan kemurahan hati dan seumpama mantri sunat yang memberi permen kepada bocah-bocah dungu, sekali lagi, saya akan coba menjawab pertanyaan Halimah itu. Mari simak jawaban paling cihuy yang bisa saya berikan. Tapi sebelum itu, sebagai contoh izinkan saya ceritakan kisah penulis hebat di bawah ini.

Menikmati Proses Kreatif

Tiap-tiap penulis punya proses kreatif sendiri-sendiri. Penulis favorit saya misalnya, jika sedang kehabisan ide untuk menulis karya sastra, almarhum papa Ernest Hemingway punya kebiasaan ganjil yang tak patut dicontoh yakni gonta-ganti pasangan.

Cara itu terbukti ampuh. Tiap kali berganti teman ranjang, tak lama dari itu Hemingway menerbitkan novel. Hemingway yang mati bunuh diri karena frustasi oleh sebab cinta memang kerap menjadikan perempuan sebagai bahan bakar proses kreatifnya. Waktu menulis terbaik bagi Hemingway adalah setelah bangun dari mabuk dan bercinta.

Tapi saya bukan dan tidak flamboyan seperti Hemingway. Ia cuman saya pinjam sebagai contoh. Lebih daripada itu, agar tulisan ini jadi agak panjang dan sesuai dengan ketentuan menulis di Millenialis. Hehehe. Lagipula itu cara yang norak, rapuh, dan memakan banyak biaya.

Mendengarkan Lagu atau Instrumen Musik

Kecuali spontanitas, saya tak punya jurus khusus untuk menghadapi kejamnya pertanyaan Halimah di awal. Tapi tak apa. Toh, pada dasarnya pertanyaan Halimah adalah pertanyaan yang cuma kepo, dan saya pikir, tiap-tiap umat manusia keturunan Adam yang punya niat untuk bisa menulis atau merupakan penulis itu sendiri, sudah pasti pernah mendengar jawaban saya ini: Mendengarkan lagu atau instrumen musik.

Ya, ini merupakan salah satu cara paling lazim, ampuh, dan jauh lebih aman ketimbang mengikuti Hemingway. Dalam konteks pengalaman dan warna kepenulisan saya, mendengarkan lagu atau instrumen musik sangat membantu di kala saya kehabisan ide untuk menulis.

Begini, pada dasarnya dan mula-mula, saya menulis untuk kesenangan. Jadi, saya menulis hanya karena saya mau. Namun semua berubah, ketika 7 bulan yang lalu saya menerima tawaran seorang kawan untuk bekerja di media olahraga. Saya harus menyelesaikan 2-4 artikel sepak bola, setiap hari kecuali Ahad.

Tentu saja, tanpa bekal pengetahuan dan mental yang cukup, seorang Gooner (sebutan untuk penggemar Arsenal) tengil macam saya ini tak akan mampu menyelesaikan 2-4 artikel yang ditugaskan itu. Tapi untunglah, Tuhan amat baik. Saya yang juga bokek dan pemalas selalu punya cara untuk bisa menyetor tulisan dalam tenggat waktu yang diberikan.

***

Kembali ke laptop persoalan. Mendengarkan lagu atau instrumen musik bisa membawa semacam ‘ruh’ dari tempat jauh untuk memberi ilham pada ekspresi kreatif saya, dan saya bersyukur karena tak repot-repot pergi ke kedai dengan suguhan live music. Tinggal buka Youtube dan cukup ketik: Full album Trio Los Panchos atau instrumen musik klasik.

Saya tak punya banyak waktu untuk menjelaskan siapa itu Trio Los Panchos. Lain kali mungkin akan saya bahas. Ringkasnya, mendengarkan instrumen musik dan lagu-lagu klasik Amerika Latin tertentu dapat menumbuhkan kecakapan berpikir dan membuat saya santai serta lebih fokus dalam menulis,

Keajaiban pun terjadi, atas kehendak Tuhan yang maha kuasa, setiap hari kecuali Ahad, saya dapat menyelesaikan 2-4 artikel sepak bola dan dengan begitu perut saya terselamatkan.

Di luar itu, kalau sedang mau dan ada perasaan yang kiranya perlu untuk saya tuangkan, saya menulis hal-hal lain. Boleh jadi puisi cinta, boleh jadi esai pendek tentang isu-isu paling aktual, dan lain sebagainya.

Tentu saja, tulisan yang bro dan sista baca ini juga melewati proses kreatif di atas. Hehe.

Di tengah Abad 21 yang masih carut marut dan mulai gelap ini. Semoga curhat berkedok jawaban saya di atas, walau sedikit, bisa memberi pencerahan. Aamiin (33x) paling serius.

Tabik.

Penulis: Gigih Imanadi Darma

Penyunting: Aunillah Ahmad