Sebelum saya mulai, mari mendoakan seluruh korban insiden di Stadion Kanjuruhan Malang. Semoga diberikan tempat terbaik di sisi Allah SWT. Dan siapapun yang menyebabkan hal ini terjadi, saya pastikan hidupnya tidak akan tenang selama-lamanya.

Sejak Liga 1 musim 2022/2023 dimulai saya meniatkan diri untuk menonton sepak bola langsung di tribun, terkhusus tim kebanggan daerah saya, PSS Sleman. Maka dari itu saya telah beberapa kali menyaksikan dan mendukung PSS di Maguwoharjo International Stadium, homebase PSS Sleman. Hal yang akhirnya bisa kita lakukan setelah musim lalu Liga 1 dilakukan tanpa penonton.

Apa lagi dalam kurun waktu 1 tahun kebelakang, timnas kebanggan kita sedang asik-asiknya melibas lawan-lawannya. Beberapa torehan prestasi dicatatkan sehingga membuat atmosfer sepak bola di Indonesia semakin menggila lagi. Orang-orang semakin semangat berbondong-bondong ke stadion untuk mendukung tim kebanggaannya atau sekadar menonton sepak bola sebagai hiburan saja.

Nonton Bola Adalah Healing

Kata dosen saya yang juga pecinta sepak bola pernah menuturkan begini dalam kelas saya

“Nonton sepak bola itu tempat untuk melepas emosi, tempat bebas misuh-misuh”.

Hal tersebut saya amini. Bahwa ketika saya nonton sepak bola di stadion adalah tempat healing yang memuaskan emosi batin ditengah-tengah hiruk pikuk kehidupan yang isinya remok tok. Jadi, daripada saya misuh-misuh, marah-marah gak jelas di kehidupan nyata dan di sosmed yang dapat mengganggu orang lain. Lebih baik saya membayar 85–100 ribu seminggu sekali untuk mendukung tim kesayangan saya dan berkumpul bersama orang-orang yang apabila saya misuh-misuh ditengah mereka adalah hal yang lumrah.

Apalagi ketika ada wasit yang gak bener dalam memimpin suatu pertandingan sepak bola. Seketika isi kebun binatang diabsen satu-satu. Dan saya sangat puas melakukannya, ketika pulang merasa hidup ini gak ada beban kecuali PSS kalah.

Selain healing untuk teriak-teriak meluapkan emosi. Menonton sepak bola jadi pilihan banyak keluarga untuk pergi berlibur. Dalam kasus ini setiap match saya selalu dikelilingi oleh keluarga kecil, dua orang tua dan satu atau dua anak yang hangat yang menyaksikan pertandingan dengan seksama. Bahkan tak sedikit ada anak kecil yang turut ikut menyanyikan chants guna mendukung tim yang telah diwariskan kebanggaannya dari orang tuanya. Tentu di suatu saat saya akan mengajak keluarga untuk healing di stadion.

Tragedi Kanjuruhan dan Ketakutan Papa

Papa merupakan pecinta sepak bola. Sosok fans MU satu ini juga sangat aware dengan perkembangan sepak bola di Indonesia. Papa hafal betul soal pemain timnas dari zaman ke zaman. Siapa namanya? Bagaimana permainannya? Papa juga sedikit banyak tahu soal tim-tim sepak bola di Indonesia. Termasuk tim lokal Daerah Istimewa Yogyakarta, seperti PSS Sleman dan PSIM Jogja.

Maka dari itu sejak kecil saya juga sudah tahu sedikit tentang sepak bola. Minimal waktu itu saya nontonin Seto Nurdiantoro kala masih menjadi penggawa Persiba Bantul bersama Udo Fortune lewat layar kaca. Atau setiap pagi saya dan papa selalu menyaksikan tayangan berita sepak bola, hasil laga semalam di tv yang jadi bahan obrolan tiap pagi dengan teman-teman SD waktu itu. 

Semakin dewasa, keinginan saya menonton sepak bola di stadion langsung semakin besar. Sejak melihat saya sering nribun di Maguwoharjo. Papa selalu mewanti-wanti untuk selalu berhati-hati di dalam stadion. Lari menjauh ke tempat terjauh apabila ada kerusuhan. Bahkan ketika saya baru bilang punya rencana nribun-pun, beliau sudah memberi pesan kepada saya. Katanya untuk selalu berhati-hati kalau nonton bola. Saya paham betul ketakutan papa soal keamanan saya saat menyaksikan sepak bola terlebih lagi dalam match-match besar atau mempertemukan dua suporter yang punya tingkat rivalitas tinggi.

Dan pada akhirnya apa yang ditakutkan papa satu-persatu terjadi. Mulai dari meninggalnya suporter PSS Sleman yang dikeroyok oleh pasca match PSS Sleman melawan Persebaya Surabaya yang menghasilkan keputusan Brigata Curva Sud untuk pamit undur diri dari setiap match-nya selama Bulan September 2022. Sampai yang paling tragis Tragedi Kanjuruhan, Malang, 1 Oktober 2022 lalu. Sangat tragis. Memakan korban hingga ratusan nyawa, ratusan.

Ketika saya terbangun di Minggu pagi (02/10), seketika saya terdiam, deg degan, takut, marah, dan tak bisa berkata apa-apa usai melihat timeline twitter saya penuh dengan angka 127 korban pasca match Arema FC vs Persebaya yang semalam saya saksikan. Setiap munculnya kasus suporter yang terenggut nyawanya akibat sepak bola, selalu lewat ucapan, nasihat, dan peringatan dari papa. Saya juga yakin, dari korban Tragedi Kanjuruhan juga sama seperti saya. Diingatkan dan bahkan didoakan oleh orang tuanya agar tetap sehat dan pulang selamat. Namun, sayangnya tidak semua pulang kembali ke rumah.

Selama seharian saya merasa marah, takut, dan terpikirkan bagaimana perasaan orang tua yang anaknya menjadi korban tragedi tersebut. Selalu berputar di otak saya juga, bagaimana kalau saya menjadi salah satu korban di sana. Pamitan untuk menyaksikan tim kebanggaan, pulang hanya menyisakan kenangan bagi kedua orang tua saya.

Rest in Peace kepada seluruh korban, semoga diberikan tempat terbaik di sisi Tuhan. Semoga diberi ketabahan untuk keluarga yang ditinggalkan. Kepada PSSI, PT.LIB, dan Panpel, EVALUASI! Dan untuk seluruh suporter, mari kita berbenah diri untuk kebaikan kita dan tim kebanggan kita.

Editor: Saa

Gambar: Suaramerdeka.com