Sekitar satu bulan yang lalu, saya membaca sebuah cerpen karya Agus Noor yang pernah dimuat di Kompas, 26 Januari 2014 berjudul, “Matinya Seorang Demonstran.” Berangkat dari cerpen itu, terapat kegalauan terkait kesejarahan kita.

Dalam cerpen itu, dikisahkan seorang pecundang yang beruntung karena kematiannya dianugerahi gelar pahlawan. Kemudian, namanya diabadikan menjadi nama jalan, seperti nama-nama pahlawan lainnya. Padahal, kematian Arman, belum begitu jelas penyebabnya, orang-orang hanya berspekulasi bahwa Arman mati karena berjuang saat terjadi demonstrasi.

Dengan mengambil setting sosial-politik masa Orde Baru menuju Reformasi, Arman yang juga seorang mahasiswa, tidak begitu peduli dengan kerusuhan yang terjadi. Tentu saja, karena dia anak purnawirawan kolonel angkatan darat, yang pada zaman itu hidup sudah serba mudah dan mewah. Jadi, tidak ada alasan untuk Arman ikut berdemonstrasi. Ya, masa mau mendemo orang tuanya sendiri? Kan nggak lucu, Hyung!

Kesejarahan yang Keliru?

Pada suatu malam terjadinya bentrokan antara aparat dan mahasiswa, Arman malah lebih memilih pergi kencan ke rumah Ratih. Ketika pergi ke rumah Ratih, dia diperiksa oleh aparat. Dia meninggalkan mobilnya, dan lari ke rumah Ratih. Ketika kerusuhan mereda, jalan tenang, dia keluar untuk mengecek mobilnya dan sekalian membeli rokok. Tepat pada waktu inilah Arman yang sedang berjalan untuk membeli rokok terkena peluru nyasar yang dilepas secara serampangan oleh aparat.

Lalu, esok siangnya Arman dikabarkan mati. Orang-orang yang menemukan jasad Arman berasumsi kalau dia mati karena ikut berdemonstrasi. Karena asumsi yang keliru ini dia dianugerahi gelar pahlawan oleh pemerintah setelahnya.

Setelah selesai membaca cerpen itu, tiba-tiba terpikir oleh saya: jangan-jangan, konstruksi kesejarahan kita juga ada yang keliru seperti itu. Saya ingat betul, berita tiga tahun lalu, bagaimana para sejarawan Indonesia, terutama sejarawan UI, menolak keras riset yang akan dilakukan oleh peneliti Belanda. Penelitian tersebut bertajuk, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia 1945-1950. Sejarawan Indonesia khawatir, kalau sejarah Indonesia akan berubah. Mengingat Belanda memiliki bukti-bukti yang lebih kuat.

Sejarah nasional kita, terutama mengenai periode itu, telah dianggap mapan oleh sebagian besar sejarawan. Itulah mengapa, tidak perlu ada lagi riset dari peneliti Belanda. Hal tersebut ditakutkan akan mengganggu kemapanan kesejarahan kita. Apalagi periode ini adalah bagian penting sejarah bangsa, dan pengetahuan sejarah yang dibangun telah menjadi ingatan kolektif bangsa kita. Kalau ini didekonstruksi atau digugat oleh Belanda, maka yang terjadi adalah kita akan banyak merevisi kesejarahan itu.

Jadi, itu artinya kita tidak punya cukup bukti atau sumber yang kuat untuk membela sejarah kita sendiri. Saya jadi ingat dengan realitas cerpen di atas. Realitas yang dibangun dalam cerpen tersebut menceritakan bagaimana sebuah spekulasi akhirnya menjadi sebuah kebenaran. Penulisan sejarah bisa saja begitu. Bahkan dalam beberapa kasus, dalam merekonstruksi sejarah ketika ada fakta yang terputus, diperbolehkan menggunakan imajinasi sebagai pelengkap yang terputus itu, istilahnya serialisasi.

Meragukan Sejarah

Tulisan sejarah yang pada dasarnya adalah hasil konstruksi manusia tentu tidak akan luput dari kesalahan. Karena manusia tetaplah manusia, yang kata Bang Rhoma, tempatnya salah dan lupa. Ah garing! Sejarah sebagai peristiwa tentu tidak akan mampu dihadirkan kembali secara akurat oleh manusia dalam bentuk tulisan. Itulah mengapa tulisan sejarah hanya mampu sampai tahap inter-objektif, bukan sepenuhnya objektif.

Peristiwa adalah kejadian itu sendiri, tanpa bisa dihadirkan kembali. Tulisan sejarah yang ditulis oleh sejarawan adalah sebuah konstruksi hasil interpretasi atas fakta-fakta yang ditemukan. Jadi, bukan sepenuhnya kebenaran, karena masih ada kemungkinan ditemukannya fakta baru yang itu kadang dapat membenarkan fakta sebelumnya.

Sebagai sebuah tulisan sejarah, tentu hasil tulisan itu telah melewati serangkaian proses rumit metode atau metodologi sejarah. Pada proses metode ini, sebuah topik sejarah ditentukan. Lalu dikumpulkan setiap sumber atau fakta yang relevan. Setelah itu, dilakukan kritik intern dan ekstern terhadap sumber. Baru setelah itu ditafsirkan untuk ditulis menjadi tulisan sejarah. Akan tetapi, yang demikian itu juga tidak serta merta menjamin akan hadir tulisan sejarah yang sesuai dengan realitas masa lalu. Karena bisa saja fakta yang ditemukan keliru.

Sebagaiman dalam cerpen yang sudah dikemukakan di awal tadi, kematian Arman di tengah dinamika proses demonstrasi, ternyata luput dari jangkauan saksi sejarah. Saksi sejarah adalah orang yang melihat secara langsung sebuah peristiwa sejarah.

Di sini kematian Arman tidak diketahui secara pasti penyebabnya, karena tidak ada yang melihatnya secara langsung. Namun, berhubung jasadnya ditemukan di medan bekas kerusuhan demonstrasi, orang-orang menyimpulkan bahwa Arman mati karena berjuang ketika berdemonstrasi.

Kesimpulan soal penyebab kematian Arman ini bisa disebut fakta sejarah, selama tidak ada kesimpulan lain dari sebuah kesaksian yang lebih kuat. Atau selama tidak ditemukannya bukti lain yang lebih akurat yang bisa menjelaskan penyebab kematian Arman.

*

Karena tidak adanya fakta lain inilah asumsi atau interpretasi yang berkembang tadi tetap menjadi bagian dalam konstruksi sebuah tulisan sejarah. Karena hal itu merupakan alasan yang paling rasional berdasarkan temuan di lapangan. Meskipun sebetulnya interpretasi tersebut keliru.

Sederhananya, begitulah cara kerja sejarawan. Dan kita pantas meragukan hasil tulisan mereka. Bisa saja bukti yang ditemukan keliru. Bisa juga interpretasi mengenai sumber-sumber sejarah ini jauh dari realitas historis yang ada.

Dalam tradisi keilmuan sejarah, hal ini sudah sangat disadari betul oleh para sejarawan dan peminatnya. Makanya, bagi para sejarawan kesadaran dekonstruksi adalah wajib, supaya sejarah mendekati objektif. Sejarah harus ditulis terus-menerus. Sejarah harus ditafsirkan ulang, menyesuaikan penemuan fakta baru dan semangat jiwa zaman. Meskipun begitu, kita boleh terus meragukannya.

Editor: Nirwansyah