Perihal berbicara di depan publik, atau bahasa kerennya disebut public speaking, masih menjadi salah satu momok menakutkan bagi kebanyakan orang. Tak terkecuali bagi saya pribadi.

Melakukan public speaking merupakan salah satu hal yang cukup berat untuk saya lakukan. Rasa malu serta takut ditertawakan kerap muncul dalam pikiran saya. Apalagi saya sendiri merupakan seorang introvert.

Meskipun demikian, ketakutan tersebut tentu tidak bisa terus dipelihara. Ada saatnya kita harus berbicara di depan publik dalam satu waktu. Entah itu di dalam lingkup keluarga hingga khalayak luas.

Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk memulai belajar public speaking. Salah satunya adalah dengan cara represif atau paksaan. Metode ini digunakan oleh teman-teman saya sewaktu SMA. Jadi, begini ceritanya.

Pada saat saya duduk di kelas 10 SMA, pihak sekolah mengadakan semacam perlombaan untuk menjadi da’i. Pada saat itu, tidak ada satupun teman sekelas saya yang mau mengikuti lomba tersebut.

Oleh karena itu, mereka kemudian memutuskan untuk memilih saya sebagai perwakilan kelas pada perlombaan tersebut. Kebetulan saya sendiri merupakan lulusan dari sebuah Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN).

Meskipun saya sendiri sangat enggan pada saat itu, saya tak punya pilihan. Daripada kelas saya tak ada perwakilan yang kemudian berpotensi menimbulkan masalah baru, pada akhirnya saya terpaksa mengikuti lomba da’i tersebut.

Pada hari H perlombaan, saya merasa gugup luar biasa. Ini adalah kali pertama saya harus berbicara di depan publik. Keringat dingin serta jantung berdebar bercampur sedemikian rupa. Ketegangan di dalam pikiran serta dada saya semakin bertambah dengan penampilan apik dari peserta lain.

Ketika tiba giliran saya untuk maju, tubuh saya mulai bergetar tak karuan. Mikrofon yang ada di dekapan tangan terasa tak bisa diam. Ia terus mengikuti getaran tubuh saya. Alhasil, pesan yang ada di dalam materi ceramah jadi tak tersampaikan dengan baik.

Meskipun saya kalah pada perlombaan da’i tersebut, teman-teman sekelas seolah tidak kapok untuk mengirim saya kembali. Ketika perlombaan sejenis kembali diselenggarakan, saya selalu dipilih untuk berpartisipasi.

Dari semua perlombaan da’i tersebut, saya tidak pernah menjadi juara pertama. Prestasi terbaik saya hanya menjadi juara ketiga saja. Itu juga terjadi karena hanya ada tiga orang saja yang mau mengikuti perlombaan saat itu, termasuk saya. Hehehe.

Membangun kepercayaan diri lewat public speaking

Meskipun terasa berat, saya sendiri kemudian mendapat banyak pelajaran serta pengalaman berharga dari perlombaan da’i tersebut. Paling penting tentu soal membangun kepercayaan diri dalam melakukan public speaking.

Percaya diri adalah modal paling fundamental dalam melakukan public speaking. Untuk membangun kepercayaan diri tersebut, biasanya saya akan menerapkan prinsip ‘let it flow’ atau dalam bahasa Indonesianya adalah ‘biarakan saja mengalir’. Bodo amat dengan apa yang orang katakan soal penampilan saya.

Di samping itu, pengalaman saya mengikuti perlombaan da’i cukup membantu dalam beberapa kesempatan. Misalnya saja ketika saya diminta untuk memimpin doa pada acara syukuran tetangga atau memberi sepatah dua kata di hadapan saudara-saudara dalam suatu acara. Tanpa pengalaman tersebut, mungkin saya sudah habis pada saat itu.

Meskipun demikian, kemampuan public speaking saya hingga saat ini belum bisa dikatakan sempurna. Saya sendiri masih kerap terbata-bata serta merasa blank mendadak saat berbicara. Tapi setidaknya biarlah pengalaman ini menjadi semacam motivasi bagi teman-teman atau siapapun yang mungkin masih kesulitan untuk membangun kepercayaan diri dalam public speaking.

Akhir kata, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada teman-teman saya sewaktu SMA. Tanpa paksaan dari mereka, saya mungkin tidak akan pernah berani keluar dari zona nyaman saya sebagai introvert.

Editor: Nawa

Gambar: Genpi.co