Tak kerasa sekarang hampir 5 tahun saya jadi guru TPQ di salah satu daerah dekat kampus. Guru ngaji, biasa disebutnya. Kalau tidak salah ingat saya mulai mengajar di akhir tahun 2016. Jangan tanyakan bulan dan tanggalnya, sebab saya lupa pastinya kapan. Yang saya ingat Cuma pengalaman ingin saya bagi kepada kalian.

Awal mula saya tertarik ingin jadi guru ngaji adalah saya ingin belajar bagaimana mendidik anak-anak. Saya yang waktu itu menginjak umur 18 tahun dan memikirkan bagaimana sih itu anak-anak atau minimal suka dengan anak-anak. Saya berpikir seperti itu karena pasti saya bakalan punya anak, masak iya enggak tahu caranya mendidik anak yang baik dan benar. Selain dapat amplop putih yang berisikan kertas berguna.

Saya tidak menyangka bahwa saya jadi guru ngaji TPQ. Umumnya yang jadi guru TPQ kan biasanya harus santri yang pernah mondok beberapa tahun di mana gitu. Saya? Boro-boro mondok, ngaji saja saya malas-malasan. Jujur saja saya benar-benar modal nekat memilih menjadi guru ngaji TPQ. Hanya modal syahadah (semacam ijasah sekolah tapi khusus untuk madrasah) yang membuktikan pernah ngaji di TPQ sampai tamat (wisuda) saja. Selebihnya ngaji biasa saja.

Karena sadar bahwa diri sebenarnya minim ilmu, maka di awal-awal saya merasa insecure dan tidak percaya diri. Sebab jadi guru TPQ itu kan ngajari anak-anak baca Al-Qur’an, Kalamullah. Bayangkan seperti apa tanggung jawab saya atas pilihan saya? Gede banget apalagi ini soal akhirat.

Akhirnya sampai suatu ketika saya menemukan ceramah Cak Nun di youtube yang beda sekali gaya penyampaiannya. Ya, bisa dibilang egalitar dan menganggap dirinya bukan sebagai okoh ulama yang sedang menyebarkan dakwah Islam. Terus saya pelajari bagaimana Cak Nun berkomunikasi dengan mad’unya(istilahnya). Dari situ saya ambil pelajaran bahwa tugas da’i atau siapapun itu tugasnya menemani belajar.

Mungkin dari situlah kemudian saya lebih bisa percaya diri karena saya tidak berpikir saya menjadi guru bagi mereka (anak-anak yang saya ajar). Melainkan cukup berpikir jadi teman untuk mereka dalam belajar membaca Al-Qur-an. Sebab jika saya berpikir mengajari ternyata sangat berat di pikiran. Dampaknya saya pernah absen (tidak mengajar) seminggu gara-gara saya merasa tidak pantas menjadi guru TPQ.

Alhamdulillah pihak pengurus TPQ tidak memecat saya karena saya bolos lebih dari dua hari. Sekarang saya jadi paham mengapa Cak Nun lebih memilih konsep “menemani” ketimbang “mengajari.” Jika Cak Nun memiliki paradigma “mengajari” dalam otaknya, niscaya beliau akan pusing karena dituntut untuk bisa memahamkan banyak orang. Beda halnya dengan “menemani” yang ending-nya adalah “sinau bareng.” Itulah yang saya praktikkan sekarang kepada adik-adik imut yang saya temani belajar Al-Qur-an setiap sore. Kecuali hari Jum’at, libur.

Editor : Hiz