Kalau bicara soal bulan Ramadan, tidak sah rasanya kalau tidak mengikutsertakan satu kegiatan ini. Kegiatan tersebut adalah pesantren kilat, yang kerap diadakan di lingkungan sekolah, mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Pesantren kilat ini nyaris ada di setiap sekolah, dan biasanya diadakan pertengahan bulan Ramadan, atau menjelang liburan hari raya. Itu artinya, kegiatan ini diadakan antara pekan kedua atau ketiga bulan Ramadan.

Penamaan kegiatan ini karena sistemnya mirip seperti pesantren yang diadakan satu atau dua hari saja. Jadi, selama berlangsung, kita seakan-akan menjadi santri, yang mana fokus mempelajari agama, ngaji, sampai berpakaian juga selayaknya seorang santri. Ya walaupun tidak semua santri seperti itu, sih, tetapi cukup lah untuk menggambarkan seorang santri yang hidupnya penuh dengan pelajaran agama.

Tiap jenjang sekolah, kegiatan ini punya perbedaannya masing-masing. Pesantren kilat yang diadakan di tingkat SD, tentu akan sangat berbeda dengan yang diadakan di tingkat SMP atau SMA. Menyesuaikan usia dan kemampuan berpikir, lah. Tidak mungkin juga kalau pemahaman agama untuk usia remaja diberikan ke anak-anak. Belum waktunya itu. Bahkan, tidak hanya tingkatannya saja yang berbeda. Beda sekolah, biasanya beda juga sistem pesantren kilatnya.

Di tempat saya, pesantren kilat ini biasanya disebut dengan istilah “Pondok Ramadan”. Maknanya sama, di mana “pondok” ini merujuk pada pesantren, dan “Ramadan” ya pasti merujuk pada bulan Ramadan dan kegiatan-kegiatan yang identik dengan bulan Ramadan. Secara sistem pun tidak ada yang berbeda. Kita pergi ke sekolah memakai busana muslim, dan kita juga banyak diberikan pemahaman agama.

Nah, ketika saya SD selama 6 tahun, saya mengalami dua kali sistem pondok ramadan ini. Sistem pertama, adalah ketika saya kelas 1 sampai 4 SD. Ini seperti pesantren kilat tingkat dasar, di mana kami belajar agama, mulai dari pagi sampai siang. Hanya itu saja, dan sebatas pengetahuan umum. Paling ya apa itu rukun iman, rukun islam, doa sehari-hari, tata cara salat, atau ngaji baca iqra’.

Ketika masuk kelas 5 dan 6 SD, pondok ramadan ini sudah mulai berbeda. Jam masuk kami pukul 2 siang, yang berakhir setelah salat tarawih. Jadi, kami memang diagendakan untuk berbuka bersama dengan teman-teman dan guru-guru di sekolah, sekalian salah tarawih bersama. Bahkan ketika kelas 6 SD, kami ada agenda menginap disekolah, yang dilanjutkan sahur bersama, lalu tadabur alam alias jalan-jalan pagi. Seru sekali, lah, pokoknya.

Masuk di SMP, saya juga merasakan dua kali pesantren, yang satu pesantren kilat dan satunya lagi pesantren beneran. Ketika saya kelas 1 SMP (masih di SMP Negeri), pesantren kilatnya sama saja, yaitu siang hari sampai selesai salat tarawih. Itulah sekali saya merasakan pesantren kilat di SMP, karena di tahun depannya saya sudah dipindah ke pesantren beneran dan saya beneran jadi santri di sana selama tiga tahun.

Ketika masuk SMA, pesantren kilat sudah tidak terlalu istimewa bagi saya, selain karena sistemnya nyaris sama, saya juga sudah merasakan rasanya jadi santri beneran. Jadi, apa yang disebut pesantren kilat ini jelas tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan pesantren beneran. Namun, keseruan ketika menjalankan pondok ramadan itulah yang tidak bisa digantikan. Akan selalu saja ada keseruan yang terjadi, Mulai dari kegiatan ngabuburitnya (biasanya sih ngaji, ya), berbuka puasa dengan teman-teman sekolah, hingga salat tarawihnya, yang pastinya berbeda ketika kita SD, SMP, atau SMA.

Maka dari itu, aneh rasanya jika melihat bahwa pesantren kilat pada dua tahun terakhir ini tidak bisa terselenggara akibat pandemi. Anak-anak sekolah jadi tidak bisa merasakan keseruan pesantren kilat. Ya semoga saja pandemi segera reda, sekolah kembali buka, dan ketika masuk bulan Ramadan lagi sudah bisa mengadakan pesantren kilat.