Kemarin malam, saat sedang duduk istirahat pada jeda antar satu salam salat tarawih, seorang anak sekira usia 8 atau 9 tahun menepuk pelan paha saya. Dia kemudian bertanya, “Mas, tarawihnya kurang berapa lagi, ya?”. Saya yang saat itu sedang mengenakan masker, mengangkat tangan sembari menunjukkan angka 5 dengan jari saya. Dari pada suara saya kalah kencang dibanding suara bilal dan jamaah yang saling bersahutan 

Setelah mendapat jawaban dari saya, si anak lantas menghela nafas cukup panjang Tanda bahwa si anak cukup kecewa—dan mungkin kelelahan. Ternyata ritus salat tarawih yang sedang ia jalani baru separuhnya, masih kurang 10 rakaat lagi, atau 13 rakaat bila ditambah dengan salat sunah witir.

Saat menyaksikan bagaimana reaksi kecewa anak ini, saya jadi teringat banyak kenangan soal tarawih di masa kecil. Ya, salah satunya soal pertanyaan yang dilontarkan si anak tadi, lengkap dengan reaksi kecewa, saat tahu ternyata rakaat tarawih malam itu masih kurang banyak. Nggak jauh beda, lah, antara saya saat masih kecil dengan si anak yang menanyai saya tadi.

Di lingkungan tempat saya tinggal, lantaran alasan kultural (baca: manut orang tua) dan teritorial (baca: lokasi masjid terdekat), mayoritas dari kami memang melaksanakan salat tarawih dengan 20 rakaat, plus ditambah 3 rakaat witir. Harus diakui, 23 rakaat ini ya memang terbilang berat. Apalagi bagi anak yang masih kecil dan baru belajar salat.

Lha wong di hari biasa, salat di malam hari itu kan cuma 4 rakaat salat isya saja. Nah ini tanpa ada pemanasan apa pun, ujug-ujug langsung salat total 27 rakaat dalam satu ritus salat malam (isya, tarawih, witir). Jadi, ya wajar bila salat terasa lebih berat dan lama.

Dulu saya juga merasa demikian. Sekarang juga masih ding. Hehe. Tapi, lain dulu lain sekarang. Sekarang, setidaknya saya sudah bisa cukup beradaptasi dan tahu kiat-kiat apa saja yang bisa dilakukan jika bosan dan lelah di tengah tarawih. Dan tentu saja, saya juga sudah bodo amat dengan jumlah rakaat tarawih pada malam itu kurang berapa lagi. Nggak saya hitung-hitung lagi.

Beda dengan saat saya masih kecil. Dulu, tiap kali merasa salat tarawih malam itu kok nggak rampung-rampung, saya langsung tanya “tarawihnya kurang berapa lagi, sih, Pak?” kepada bapak saya, atau kawan yang lebih tua. Kalau jawabannya “masih kurang banyak, kurang 6 lagi.”, saya bakal kecewa. Dan anehnya, rasa capek serta malas saya malah kian menjadi-jadi. Begitu pula sebaliknya.

Biasanya, kalau sudah betul-betul ngrasa capek saat tarawih, saya curi-curi istirahat saat jeda antar satu salam. Caranya, dengan menyimak dulu bacaan surat apa yang akan dibaca sama imam. Kalau bacaan suratnya cukup panjang macam surat Al-Bayyinah, Al A’la, atau Al Ghoziyah, saya ngaso dulu bentar. Nanti saat bacaan suratnya sudah mau selesai, saya baru berdiri kemudian takbiratul ihram, menunggu sejenak, lalu lanjut rukuk. Haha ngawur tenan memang. Tapi, ya nggak papa, buat kenag-kenangan.

Trik yang di atas itu sebetulnya masih cukup mendingan. Ada trik yang jauh lebih parah lagi. Saat capek saya sudah capek kuadrat, saya bakal betul-betul ngaso. Skip salat tarawih 1 sampai 4 kali salam atau setara 2 sampai 8 rakaat.

Tapi, ketika imam dan jamaah lain sudah mulai duduk tahiyat akhir, saya bakal ikut-ikutan duduk tahiyat. Jadi, nggak ikut salat dari awal, tapi ikut tahiyat akhir sama salamnya doang. Trik ini saya gunakan sebagai pencegahan apabila bapak atau guru ngaji saya, mendadak menoleh ke arah tempat saya salat. Biar tetap keliatan ikut salat gitu, lho. Padahal mah nggak ikut.

Ada yang lebih parah lagi dari trik pura-pura duduk tahiyat itu sebetulnya. Bisa dibilang ini adalah kenangan tarawih paling parah yang pernah saya alami. Kala itu, saat sedang tarawih, kondisi capek dan malas saya sudah tidak bisa lagi ditahan, ditambah rasa kantuk yang kian bergelayutan. Saya akhirnya memutuskan untuk pergi ke sudut mushola yang masih cukup luas. Tujuannya ya buat tidur. Literally tidur, Gaes.

Tapi, ya, pas itu saya nyari spot tempat tidurnya yang nggak mencolok-mencolok amat, sih. Sembari menitip pesan ke teman, “nanti kalau sudah mulai doa dan niat nawaitu shouma ghodin, plis bangunin saya, ya.”

Sialnya, trik yang satu ini tidak berjalan lancar. Saya malah nggak dibangunin dan sengaja ditinggal pergi sama teman saya. Baru bangun sekitar pukul 23.00. Itu pun karena dibangunkan sama pengurus mushola yang sedang sweeping sembari mematikan lampu ruangan. Sial dan malu betul.

Sesampainya di rumah, saya malah dibercandai sama ibu saya—yang sebetulnya tahu kalau saya ketiduran—, “Ealah, anakku. Baru pulang jam segini gara-gara ikut i’tikaf di mushola, ya? Sholeh tenan~” Pfftt.      

Editor : Hiz

Foto : Tokopedia