Melihat kondisi jalanan saat ini, rasanya untuk memiliki kendaraan bermotor sudah sangat mudah sekali. Tak seperti dulu, di mana kita harus menabung untuk membeli motor atau mobil. Namun, sekarang sudah ada opsi kredit yang memungkinkan kita bisa membeli kendaraan bermotor tanpa harus menunggu tabungan banyak dulu. Kredit memungkinkan kita membayar sebagian harga untuk uang muka dan menyicil sisanya. Doktrin kredit ini pun banyak membuat orang tegoda

Kredit seakan memang digalakkan secara massif. Banyak dealer berlomba-lomba untuk menawarkan kredit dengan uang muka paling murah serta cicilan yang ringan. Bahkan, pembelian secara kredit lebih diutamakan daripada mereka yang ingin membeli secara tunai. Perusahaan lebih banyak mendapatkan untung melalui pembelian secara kredit.

Dahsyatnya Doktrin Kredit

Doktrin-doktrin pun dikeluarkan untuk mempengaruhi mindset masyarakat agar senantiasa gemar membeli barang secara kredit. Sebenarnya, hukum kredit sendiri tak masalah di dalam Islam asal tanpa ada bunga. Yang menjadikan kredit itu haram dalam pandangan Islam adalah karena adanya pihak ketiga dan bunga yang memberatkan salah satu pihak. Hanya itu yang saya tahu mengenai hukum kredit. Untuk lebih lanjut, silakan menanyakannya kepada uztad atau siapapun yang kompeten.

Namun, doktrin yang sudah terlanjur mengakar dalam masyarakat dan tingkat percaya diri yang rendah membuat budaya kredit seakan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. “Kalau gak kredit, pasti gak bakal punya.” Begitulah kira-kira doktrin yang diajarkan kepada saya dulu sewaktu kecil. Jika dipikir-pikir, memang rasanya mustahil punya motor atau mobil tanpa kredit dengan penghasilan UMR atau dibawah UMR.

Akan tetapi, total kredit tersebut apabila dihitung-hitung kita akan membayar motor yang seharga 12-14 juta dengan harga 30 jutaan bahkan lebih. Tentu saja yang paling dirugikan adalah konsumen. Pihak dealer dan leasing pasti bersorak gembira. Jika berkaca pada pengalaman tiga tahun lalu sewaktu saya memutuskan untuk kredit motor, banyak kejadian yang bisa diambil hikmahnya (bagi yang mau).

Sebagai umat Muslim yang walaupun tidak terlalu beriman, saya masih yakin dengan adanya Ridho Allah. Bekerja berharap Ridho Allah sekaligus juga keuntungan tentunya. Saya dulu punya usaha minuman kecil-kecilan. Dalam satu bulan, untung bersih yang diraup berkisar 2,5-3 juta. Jumlah yang lumayan untuk seorang lajang yang menumpang hidup di rumah kakak. Secara logika, kredit motor dengan cicilan sekitar 700 ribu per bulan tentu tidak memberatkan.

Setahun berjalan, usaha saya berkembang dan memiliki cabang. Pendapatan meningkat. Saya memutuskan untuk kredit sebuah motor. Beberapa bulan awal lancar saja. Memasuki pertengahan, usaha saya mulai sepi sampai-sampai saya harus menutup salah satu cabang, memecat karyawan dan akhirnya menjalankan usaha sendiri. Cicilan yang awalnya ringan-ringan saja, mulai berat. Tabungan pun akhirnya terkuras untuk bayar cicilan.

Saatnya Move On

Memasuki tahun ketiga kredit motor yang juga merupaka tahun terakhir cicilan. Pendapatan sudah tidak dapat mencukupi biaya cicilan. Usaha sepi, kadang hanya laku dua plastik minuman sehari. Cicilan sering telat sampai denda banyak. Sampai usaha tutup dan saya kerja serabutan untuk melunasi cicilan motor tersebut. hari-hari di tahun itu sungguh berat, tiap hari tak lepas dari sakit kepla mikirin cicilan yang hanya 700 ribu per bulan.

Beruntung saya dapat melunasinya, walaupun berkali-kali mendapat peringatan motor saya akan dijabel. Saya merenung, mungkin itu teguran dari Allah karena saya sudah tau bahwa cicilan riba itu haram, tetapi tetap saya lakukan. Akhirnya saya berdiskusi dengan seorang teman yang lebih paham tentang agama. Katanya bisa saja itu teguran bagi saya. Teguran Untuk yang sudah berkeluarga itu bisa saja menjadi penyebab retaknya hubungan keluarga.

Salah satu saudara juga mengalami hal yang sama. Dengan penghasilan kotor kurang lebih 10 juta perhari dari usahanya, tetapi dia masih kebingungan untuk menyicil hutang ke bank tiap bulannya. Hubungannya dengan sang istri juga retak dan beberapa kali nyaris bercerai. Untung ada pihak keluarga yang masih berusaha untuk mempertahankan.

Saya membayangkan orang yang penghasilannya jutaan setiap harinya saja masih kebingungan dan hidupnya tak tentram karena riba, apalagi saya yang penghasilan tak seberapa. Bisa saja karena tidak bisa mengatur keuangan, bisa jadi juga ketidakmampuan mengatur keuangan itu juga teguran. Beruntung masih diberi teguran semasa di dunia.

Dari kejadian tersebut, saya memutuskan untuk Move On dari doktrin “Gak kredit, gak bakal punya.”