Muhammad Abduh adalah salah satu tokoh Islam yang tersohor di Abad Modern. Ia dikenal sebagai seorang reformer yang menggaungkan pembaharuan pemikiran rasional lewat karya masterpiecenya risalah at-tauhid. Selain itu, ia juga seorang aktivis penggerak yang selalu memompa semangat nasionalisme Arab. Muhammad Abduh berkeinginan untuk membongkar “tembok kejumudan” dengan membuka lebar-lebar pintu ijtihad dalam rangka mengorkestrasi ajaran teologi Islam sehingga sesuai dengan perkembangan zaman modern.

Secara nasab Beliau adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Ia dilahirkan di desa Mahallat Nasr di al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M. Ayahnya, Abduh bin Hasan Khairullah adalah keturunan bangsa Turki. Sedangkan ibunya, Junainah binti Uthman al-Kabir merupakan silsilah keturunan pemimpin besar Islam, yaitu Umar bin Khattab. Kedua tuanya tersebut adalah pemeluk agama yang taat pada ajaran Islam, sehingga mereka mendidik Muhammad Abduh dengan ajaran Islam yang ketat.

Sebelum kelahirannya, kedua orang tua Abduh sering berpindah tempat tinggal. Bahkan, dalam jangka satu tahun mereka bisa berpindah kediaman berkali-kali. Hal ini disebabkan karena penguasa-penguasa pada akhir masa pemerintahan Muhammad Ali (1805-1849) mengumpulkan pajak dari penduduk desa secara masif. Akibatnya, banyak petani-petani selalu pindah tempat untuk menghindari beratnya beban pajak yang diwajibkan pemerintah terhadap mereka.

Pada suatu hari, orang tua Muhammad Abduh membeli sebidang tanah di desa Nasr untuk digarap sebagai lahan pertanian. Kemudian mereka memilih tinggal dan menetap di desa tersebut. Di tempat inilah Ia diasuh dan dibesarkan oleh orang tuanya. Kendati tidak memiliki latar pendidikan sekolah, namun dengan kepribadian mereka yang shaleh dan taat, keduanya mampu mengantarkan putranya menjadi sosok pemuda dewasa dan cerdas.

Perjalanan Intelektual dan Pemikiran Muhammad Abduh

Sejak muda, Abduh sudah diajari tulis menulis oleh kedua orang tuanya. Ia mampu menyelesaikan hafalan Al-Qur’an dalam waktu 2 bulan di usia 10 tahun. Ketika berumur 13 tahun Abduh dibawa ke Tanta untuk belajar di Masjid Ahmadi. Bagi masyarakat Mesir, masjid ini kedudukannya dianggap nomor dua setelah universitas Al-Azhar dari segi pembelajaran Al-Qur’an dan hafalan.

Metode pembelajaran di masjid Ahmadi didominasi oleh hafalan, baik berupa hafalan teks keagamaan (Al-Qur’an dan al-Hadis) maupun ulasan-ulasan terkait di dalamnya. Hal ini kemudian membuat Muhammad Abduh tidak puas dan merasa frustasi. Menurutnya, metode ini tidak memberi ruang yang luas bagi murid untuk memahami persoalan secara mendalam dan kritis. Alhasil, Abduh meninggalkan masjid dan bertekad untuk tidak kembali lagi ke kehidupan akademis.

Kemudian setelah beberapa waktu, Muhammad Abduh bertemu dengan pamannya, Syaikh Darwisy Khadr, seorang guru dari tarekat Syadzily. Dari beliau Abduh mempelajari disiplin ilmu etika, moral dan praktiknya dalam tarekat. Berkat gurunya tersebut, Abduh kembali bersemangat untuk meneruskan pendidikannya lagi dan memasuki pusat kajian keislaman terbesar pada waktu itu, yakni Universitas Al-Azhar Mesir.

Ketika memasuki tahun ke-4 pendidikannya di al-Azhar, Ia kembali merasa kecewa dengan metode pembelajaran yang ada, yakni hafalan. Menurutnya, metode ini adalah metode pembelajaran yang kolot dan tidak dapat merangsang mahasiswa untuk berpikir kritis sebagaimana pengalaman yang pernah dialami Abduh di Tanta dahulu. Pengalaman-pengalaman historis tersebut kemudian membangunkan pikiran-pikiran reformatifnya.

Pada tahun 1871, Abduh menjadi murid Jamaluddin Al-Afghani yang terkenal rasional. Melalui Jamaluddin Al-Afghani, Abduh mempelajari dan mendalami pengetahuan filsafat, matematika, teologi, politik dan jurnalistik. Pada saat itu, teologi dan filsafat dianggap dan disamakan dengan bid’ah. Oleh karenanya, Muhammad Abduh minta izin kepada Syaikh Darwisy dan beliau mengizinkan. Menurut beliau filsafat (al-Hikmah) dan ilmu pengetahuan merupakan jalan terbaik untuk mengenal dan menyembah Tuhan.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Al-Azhar, Muhammad Abduh mengajar di Al-Azhar, Dar Al-Ulm dan juga di rumahnya sendiri. Diantara buku-buku yang diajarkannya adalah buku akhlak karangan Ibnu Miskawaih, Muqaddimah Ibnu Khaldun dan sejarah kebudayaan Eropa karangan Guizot yang diterjemahkan Al-Tahtawi ke dalam bahasa Arab pada tahun 1857. Kesempatan ini dimanfaatkan Muhammad Abduh untuk berbicara dan menulis masalah politik, sosial dan khususnya masalah pendidikan nasional.

Pada akhir tahun 1882, Ia diasingkan ke Beirut kemudian ke Paris, karena turut serta memainkan peran penting dalam revolusi Urabi Pasya. Tindakan ini dianggap berbahaya dan mengancam kepentingan Inggris di Mesir. Selama tinggal di Prancis, ia melihat negara ini begitu rapi, disiplin, dan bersih. Berbeda jauh dengan pemandangan di tanah kelahirannya, Mesir. Di Mesir, yang mayoritas penduduknya adalah orang Islam, ternyata jauh tertinggal dibandingkan dengan Prancis, yang jumlah muslimnya sangat sedikit. Dari hal ini, ia mengatakan suatu perkataan yang cukup terkenal hingga hari ini. Ia berkata: 

ذهبت إلى بلاد الغرب رأيت الإسلام ولم أرى المسلمين ~ وذهبت بلاد العرب رأيت المسلمين ولم أرى الإسلام

dzahabtu ilaa bilaad al-ghorbi, roaitu al-islam wa lam aro al-muslimiin. Wa dzahabtu ilaa bilaad al-‘arobi, roaitu al-muslimiin, wa lam aro al-islam.

“Aku pergi ke negara Barat, ku lihat islam tapi tidak ku lihat muslim. Dan aku pergi ke negara Arab, ku lihat muslim tapi tidak ku lihat islam”.

Abduh baru bisa kembali ke Mesir pada tahun 1888 setelah pergolakan politik mulai surut. Kemudian ia bekerja sebagai hakim di salah satu mahkamah dan pada tahun 1889 ia diangkat sebagai Mufti Besar. Jabatan tinggi ini berlangsung sampai ia meninggal dunia pada tahun 1905.

Karya Tulis dan Kitab

Muhammad Abduh meninggalkan banyak karya tulis yang sebagian besar berupa artikel-artikel di surat kabar dan majalah. Ada beberapa buku yang pernah ditulisnya, yaitu: Durus Min Al-Qur’an, Risalah al-Tauhid, Hasyiyah ‘Ala Syarh al-Dawani Li al-Aqaid al-Adudiyah, al-Islam Wa al-Nashraniyyah Ma’a al-Ilmi al-Madaniyah, Tafsir Al-Qur’an al-Karim Juz Amma, dan Tafsir al-Manar yang diselesaikan oleh muridnya, Muhammad Rasyid Ridha.

Tafsir Al-Manar terdiri dari 12 jilid, mulai dari surah Yusuf ayat ke-52. Meskipun penafsiran ayat-ayat tersebut tidak ditulis langsung oleh Muhammad Abduh, namun itu dapat dikatakan sebagai hasil karyanya. Karena muridnya (Rasyid Ridha) yang menulis kuliah-kuliah tafsir tersebut menunjukkan artikel yang dimuatnya ini kepada Abduh dan beliau terkadang memperbaikinya dengan penambahan dan pengurangan satu atau beberapa kalimat, sebelum disebarluaskan dalam majalah Al-Manar.Tafsir Al-Manar menceritakan dirinya sebagai kitab tafsir pertama yang menggunakan pendekatan adabi ijtima’i. Itu juga menjadi salah satu kitab tafsir utama yang menghimpun riwayat-riwayat shahih dan pandangan akal dalam menjelaskan hikmah syariat serta sunnatullah terhadap manusia, serta menjelaskan fungsi Al-Qur’an sebagai kitab hidayah (petunjuk) untuk seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Oleh karena itu, tafsir ini menghindari istilah-istilah kompleks dan mengubahnya menjadi istilah yang lebih mudah dipahami orang-orang awam.  Wallahu a’lam.

Editor: ciqa

Gambar: Google