“Sukses ya, Nduk, ngembangin hal yang sama temen-temen dianggap kuno,” begitu kata seorang sahabat baik yang menyemangati saya suatu hari.

Menarik sekali kata kunci yang ia pakai: Kuno.

Mungkin sekilas begitulah kesan museum bagi sebagian besar orang. Tempat kuno yang menyimpan barang-barang tua. Sebagian karatan, berdebu, dan lapuk. Ngomong-omong, sebenarnya, untuk apa sih museum ada?

Kekayaan Berharga

Aslinya dulu, kata Arinze (1999), museum didirikan dengan tujuan untuk mengumpulkan koleksi bersejarah. Fungsinya baru sebagai media edukasi dan rekreasi. Tetapi semakin ke sini, peran museum tidak hanya untuk menceritakan sejarah, melainkan juga untuk mendorong kemajuan masyarakat. Tentu saja melalui refleksi dari tiap koleksi di dalamnya.

Hemat saya, koleksi di museum mirip dengan bolpoin, jam tangan, kaus kaki, atau panci yang kita dapatkan sebagai hadiah dari orang tersayang. Walaupun orang-orang menganggapnya hal biasa, bagi kita barang-barang itu luar biasa. Karena kita tahu ada ‘cerita’ di baliknya.

Benda-benda koleksi di museum pun begitu. Mereka ada di sana karena punya cerita menarik dan sejarah yang unik. Hanya orang-orang yang tahu ceritanya dan mau belajar dari sana yang akan menganggapnya benar-benar luar biasa.

Kita patut berbangga karena sejauh ini Indonesia punya 400 lebih museum. Kalau ngintip data Statistik Kebudayaan 2019 dari Kemendikbud RI, terdapat 44 museum yang berdiri di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Jumlah ini termasuk banyak. Oleh karenanya, DIY mendapat peringkat ke-4 sebagai provinsi dengan jumlah museum terbanyak setelah Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Nah, bagi yang berkesempatan ke Jogja, tinggal milih nih mau kemana dulu. Mau belajar sejarah dan budaya? Bisa ke Museum Kraton Yogyakarta atau Museum Sonobudoyo. Mau belajar soal perjuangan? Kuy ke Museum Vredeburg atau Museum Perjuangan. Mau belajar tentang ilmu pengetahuan? Museum Taman Pintar dan Museum Biologi UGM bisa jadi pilihan, serta masih banyak lagi.

Dengan jumlah museum di DIY yang sebanyak itu, jumlah koleksinya bisa lebih banyak lagi, mungkin mencapai ratusan bahkan ribuan. Apalagi cerita di balik setiap koleksi itu, wah jangan dihitung, pingsan kita nanti!

*

Oh iya, jadi muncul pertanyaan nih, dengan fakta itu apakah sudah banyak masyarakat yang tertarik berkunjung ke museum?

Sebetulnya angka kunjungan ke museum di DIY cukup tinggi lho. Sayangnya kalau diperhatikan lagi, hal itu baru didorong oleh program Wajib Kunjung Museum (WKM) dari Dinas Kebudayaan DIY. Setiap sekolah wajib mengagendakan acara kunjungan ke museum bagi siswa-siswinya.

Sedihnya lagi, ternyata jumlah kunjungan museum masih ketinggalan dibanding tempat-tempat wisata lain. Tiga tahun lalu, Yulianto membagikan hasil risetnya tentang objek wisata di DIY dan menyimpulkan bahwa persis seperti candi-candi kecil dan makam-makam bersejarah, museum memiliki jumlah wisatawan yang minim. Ketiganya masih kalah dari tempat-tempat wisata alam yang punya banyak pengunjung.

Berfoto dan Belajar

Matinya sebuah museum bukanlah disebabkan oleh koleksi, pengelola, atau gedungnya. Melainkan ia mati karena ditinggalkan oleh pengunjungnya. Kira-kira hal apa aja sih yang menjadikan museum kurang diminati, terlebih oleh generasi muda?

Dari sekian kemungkinan, ada dua hal yang menurut saya paling berpengaruh:

Pertama,

karena anggapan umum bahwa museum itu kuno dan isinya cuma barang-barang tua. Senyap, gelap, dan pengap. Mungkin cuma satu dua museum yang memang perlu pembenahan tata ruang. Tapi aslinya, nggak semuanya kaya begitu, kok.

Banyak museum yang bahkan support banget anak muda yang suka hangout dan cari spot yang instagramable. Teman-teman bisa tuh dapet foto ciamik saat berkunjung ke Museum Affandi, Museum Ullen Sentalu, dan banyak lagi. Yang hobi foto-foto vintage juga pasti senang sekali. Gedung Museum Dewantara Kirti Griya misalnya, bangunan rumah Ki Hadjar Dewantara yang memadukan unsur Eropa dan Jawa, menarik untuk jadi latar foto.

Kedua,

memang harus diakui bahwa masyarakat Indonesia masih sangat berjarak dengan sejarah bangsanya. Sebagian dari kita mungkin merasa asing dengan sejarah dan budaya bangsa. Udah hapal kan orang-orang yang baru lantang mengakui budaya sendiri pas produknya terlanjur diklaim oleh negara lain. Yakduh.

Meskipun sudah ada pelajaran sejarah di sekolah, tapi nyatanya sebagian besar merasa pembahasannya seperti lagu pengantar tidur. Oleh karenanya, berkunjung ke museum adalah salah satu alternatif yang bisa kita lakukan, selain makin memperbanyak bacaan. Karena di sana, kita akan dipertemukan dengan gambaran yang lebih visual tentang apa yang terjadi di masa lalu. Plus bisa ngobrol asyik dengan mas mbak pemandu. Tanya ini itu. Bukan tanya nomor telepon dan janjian bertemu ya.

Pentingnya dan banyaknya hal menarik di museum ternyata belum diketahui banyak orang. Ada sebagian museum yang memang ramai dan sudah besar, tapi ada juga yang masih sepi pengunjung. Padahal banyak koleksi dan cerita yang bisa kita dapatkan.

Dengan adanya semua itu, tinggal kita mau bagaimana. Apakah terdorong untuk mau belajar di museum supaya makin memahami sejarah kita sendiri? Atau kita malah lebih rela orang lain di luar sana yang mempelajari dan lebih tahu mengenai itu semua?

Penulis: Ahimsa Wardah Swadeshi (Duta Museum DIY 2020 untuk Museum Dewantara Kirti Griya)

Penyunting: Aunillah Ahmad