Sepekan belakangan jagat medsos di negara +62 ramai dengan bahasan tentang Staf Khusus (Stafsus) Presiden RI yang muda-muda itu. 7 dari 12 stafsus tergolong anak muda alias milenial. Nah, jajaran stafsus milenial ini mengundang perhatian dan decak kagum Warganet.

Gimana enggak, mereka semua masih sangat muda tapi sudah dipercaya jadi stafsus presiden. Bahkan, Kak Putri Tanjung jadi stafsus termuda Presiden Jokowi yang baru berusia 23 tahun. Iya, 2 3  t a h u n. Sekeren itu. Sampai banyak ujaran tersebar di medsos bahwa Kak Putri Tanjung ini adalah standar idaman anak muda, lengkap dengan pertanyaan usil “di usia 23 tahun kamu sudah ngapain?”

Sebaliknya, nggak lama kemudian ujaran dan pujian itu berbalas argumentasi yang berlawanan. Mereka menyatakan kalau jajaran stafsus milenial mestinya disikapi biasa-biasa saja. Karena mereka hanyalah orang yang kaya, punya karir mentereng, atau punya privilege yang luar biasa. Ya, privilege, kata keren nan keinggris-inggrisan inilah yang kemudian banyak jadi sorotan. Sampai hari ini, ngomongin privilege memang nggak ada habisnya.

 

Menyikapi Privilege

Secara sederhana, privilege adalah “hak istimewa”. Biasanya, anak yang dilahirkan dalam keadaan keluarga kaya ataupun pemilik jabatan, pasti bakal punya privilege lebih dibandingkan yang nggak kaya dan nggak punya jabatan. Karena itu, dalam konteks Mbak Putri Tanjung yang dipuja-puja sebagai standar idaman seorang perempuan, jelas sulit dikejar oleh generasi milenial kebanyakan.

Jelas banget, kan, Kak Putri Tanjung yang anaknya konglomerat nasional Chairul Tanjung itu sejak lahir sudah kaya. Mungkin waktu kecil kalau pengen beli mainan tinggal beli, mau makan enak nggak perlu banyak mikir, mau main ke manapun tinggal gas saja. Nggak heran dia sudah bisa memulai usaha di usia 14 tahun, and the rest is history. Kelihatannya lancar-lancar saja gitu hidupnya.

Tapi, apakah punya privilege adalah sesuatu yang salah? Enggak sama sekali. Karena kita nggak bisa memilih mau dilahirkan dari keluarga dan lingkaran kehidupan macam apa. Kita nggak bisa menolak jika harus dilahirkan dari keluarga miskin, sama halnya nggak bisa menolak dilahirkan dari keluarga kaya dan punya jabatan—yang kemudian dihujat banyak orang ketika mendapat jabatan karena privilege.

Belum lagi, jangan mentang-mentang kita hidup serba ngepas terus bisa melihat orang lain yang lebih kaya auto-bahagia begitu. Padahal kan nggak juga, makna hidup dan kebahagiaan satu orang dengan orang lainnya nggak bisa disamakan gitu aja.

 

Menyadari dan Mengejar Hak Istimewa

Sekarang tinggal bagaimana caranya kita menyadari posisi kita dan menjalankan sebaik-baiknya. Kalau memang punya privilege, sadari itu dan tetaplah rendah hati. Jangan lupa menjaga agar kita nggak sampai merendahkan orang lain dan memanfaatkan privilege dengan cara-cara yang salah.

Bahkan, justru dengan privilege itu kita bisa berbuat baik lebih banyak. Begini analoginya, misal kita yang belum berpenghasilan tetap bersedekah, paling-paling hanya kuat beberapa puluh ribu saja. Tapi, kalau dari keluarga Bakrie yang superkaya itu, mereka bisa mengeluarkan jutaan atau bahkan miliaran sekali menyumbang. Kelihatan, kan, perbedaan dampaknya.

Kalau sudah sadar kita punya privilege, jangan berhenti di situ. Selain memanfaatkan buat diri sendiri, manfaatkanlah buat membantu orang lain. Para pemilik privilege-lah yang bakal lebih mungkin mengubah keadaan. Jangan lupa memberdayakan dan mengembangkan orang-orang di sekitar kita.

Nah, sebaliknya, kalau kita nggak punya hak istimewa yang cukup maka berusahalah. Dimulai dengan menyadari bahwa diri kita masih jauh banget dari keadaan yang baik dan pasti. Lalu dilanjutkan dengan membuat lompatan-lompatan, biar melebihi dirimu yang sebelumnya, melebihi pencapaian keluargamu, sampai teman-teman dan orang di sekitarmu. Lompatan inilah yang bakal membantu kamu pelan-pelan mendapatkan privilege.

Walaupun usahamu bakal jauh lebih sulit dibanding teman-teman yang dari sananya punya privilege, tapi percayalah usaha yang maksimal dengan cara-cara yang tepat bakal bagus hasilnya. Dan, kalaupun nggak kamu rasakan langsung keberhasilannya, bisa jadi generasi penerusmu yang bakal merasakan. Entah itu adik, keluarga, teman, atau anak-anakmu besok—tentu saja kalau mereka meneruskan usaha dan lompatan-lompatan yang kamu buat.

Jadi, kalau nggak punya bawaan privilege yang cukup besar, justru jadi tantangan buat kita. Jangan cuma mengacu pada privilege-nya Kak Putri Tanjung saja. Apalagi sampai terlalu malas, banyak mengeluh, dan nggak mau membuat langkah besar nan sulit.

Ingat, ada Mbak Ratu Tisha Destria sang Sekjen PSSI, Pakde Jack Ma pendiri Alibaba, sampai Mbah Sandlers yang luar biasa perjuangannya sampai bisa punya privilege dan dikenang oleh orang banyak.

 

Ilustrator: Ni’mal Maula