Manusia adalah makhluk sosial yang setiap detiknya tidak luput akan kesibukan yang menyertainya. Entah ibadah, kerja atau memenuhi kebutuhannya. Adakalanya manusia dengan kesibukannya mendapat nilai plus dari Sang Pencipta, meski tidak menutup kemungkinan ada yang mendapat nilai negatif dalam sudut pandangannya.

Lantas sosok seperti apakah manusia tersebut, sampai ia mendapat nilai plus dari Pencipta-Nya, apa rahasianya?

Banyak dari kita melupakan hal ini dan tidak menyadari bahwa hal yang kita anggap sepele dalam kehidupan, ternyata menyimpan berbagai macam keutamaan. Dan dari sinilah letak perbedaan antara orang alim dan orang yang kurang dalam soal keagamaan.

Seperti apa yang telah tersurat dalam perkataan

نوم العالم أفضل من عبادة الجاهل“Tidurnya orang alim lebih baik dari ibadahnya orang bodoh.”

Dari sini, timbul pertanyaan: Bagaimana bisa orang yang terlelap dalam tidur lebih baik dari pada orang yang melakukan ketaatan? Jawabnya singkat, karena orang alim selalu menyertakan niat dalam segala aspek kehidupan dan yang selainnya melakukan ibadah tanpa adanya niat dan bisa jadi tidak tahu syarat dan rukun ibadah yang menjadi syarat akan keabsahan. Di sinilah munculnya perbedaan.

Niat: Hal sepele yang sering dilupakan

Niat bukan termasuk hal yang payah bukan? Akan tetapi tidak jarang dari kita kurang memerhatikan bahkan sampai melupakan. Berapa banyak diantara kita yang melakukan kegiatan sehari-hari bahkan ibadah dengan tidak disertai niat yang sesuai dengan syariat Islam yang dominan. Padahal hanya dengan niat itulah amalan-amalan bisa diterima dan mendapat imbalan.

Beberapa hal yang kita lakukan setiap hari tanpa adanya niat yang dianjurkan. Pertama, tidur lebih cepat bukan untuk bangun lebih awal agar mampu melakukan salat Tahajud dan salat Subuh, akan tetapi agar datang kerja tepat waktu dan tidak mengantuk ketika menekuni pekerjaan.

Kedua, makan karena lapar tanpa berniat agar kuat untuk melakukan ibadah yang diwajibkan. Ketiga, minum bukan untuk melancarkan pencernaan supaya ibadahnya tidak terganggu, akan tetapi karena rasa dahaga pada tenggorokan. Keempat, menjenguk kerabatnya yang sakit, bukan untuk silaturahmi, namun karena membalas pemberiannya waktu mereka sakit, agar tidak mengurangi rasa gengsi yang selama ini mereka pertahankan.

Terakhir, hal yang sangat disayangkan dan tidak sedikit yang mempraktikkan adalah menyertakan niat duniawi dalam ibadah sehari-hari. Salat bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan karena akhirat, tapi salat karena faedah-faedah yang hanya terdapat dalam kehidupan, misalnya untuk menyehatkan anggota badan.

Apa yang harus dilakukan?

Lantas, bagaimana yang dianjurkan dalam syariat Islam? Berniat. Bukan hal yang menyibukkan, hanya butuh kebiasaan. Seperti yang telah dicantumkan dalam hadis Nabi Muhammad SAW berikut ini:

(عن عمر ابن الخطاب رضي الله عنه قال سمعت رسول الله يقول إنما الأعمال بالنيات ( ١٩٠٧Dari Umar berkata: saya mendengar perkataan Nabi Muhammad SAW, beliau berkata: “Semua amal perbuatan itu titik utamanya ada dalam niat.” (No. 1907)

Nah, setelah kita telah mengetahui betapa pentingnya niat, tugas kita selanjutnya adalah melakukan pendekatan kepada Allah SWT dengan melakukan berbagai macam ibadah. Karena hakikat terciptanya manusia ke alam semesta ini tidak lain hanya untuk mengagungkan Allah. Seperti tertera di dalam Al-Quran:

(وما خلقت الجن و الإنس إلا ليعبدون (سورة الذاريات : ٥٦“Tidaklah kami menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku.”
(adz-Dzariyat: 56)

Alhasil kita diciptakan ke dunia ini hanya untuk beribadah pada Sang Pencipta dengan disertai niat dan tata cara yang sesuai dengan syariat agar mendapatkan pahala yang bisa mengantarkan menuju keridaan-Nya sehingga kita bisa berbahagia masuk dalam surga-Nya.

***

Untuk mencapai itu semua, bukan serta-merta hanya dengan melakukan ibadah, akan tetapi masih terdapat hal-hal yang harus diperhatikan, yakni penyakit hati. Penyakit hati seperti sombong, takabur dan ria atau lebih dikenal caper. Munculnya salah satu penyakit ini, akan menghapus pahala kita dan bisa jadi kita mendapat imbalan siksa yang pedih dari Allah SWT.

Allahu a’lam bi shawab

Penulis: Ahmad Rizal

Penyunting: Aunillah Ahmad