Sebetulnya saya enggan menanggapi dan menulis perihal pacaran –setelah beberapa kali artikel tentang kisah cinta anak muda muncul di milenialis.id dan ibtimes.id. Namun karena tulisan-tulisan tersebut dibagikan oleh teman-teman penulis di status WhatsApp mereka, saya akhirnya penasaran.

Tulisan tentang pacaran bertebaran di media daring, baik bernada setuju dan mendukung pacaran maupun yang menolaknya. Bagi seseorang yang sudah pernah atau sedang merasakan perasaan ‘cinta’ tentu akan lebih sering membaca artikel yang setuju dengan pacaran, begitu juga sebaliknya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berpacaran adalah bercintaan atau berkasih-kasihan, sedangkan definisi kata pacar adalah teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih atau disebut kekasih.

Nah fenomena saling berbagi kasih ini biasanya dapat ditemukan di sekolah menengah pertama ataupun atas, juga saat kuliah. Namun tidak sedikit juga anak sekolah dasar sudah mengenal hal ini. Jika kita lihat di media sosial banyak sekali meme yang menyinggung “anak SD saja pacaran, masa kamu yang sudah tua tidak”. Miris, tapi itulah dampak arus globalisasi.

Beberapa Alasan

Seseorang yang memilih pacaran atau tidak pasti memiliki alasan dibalik keputusannya. Tak sedikit yang jawabannya hanya singkat jelas padat, ada juga yang mengatakan tidak ada alasan untuk mencintai seseorang.

Bagi pasangan yang memilih berpacaran tentu ada beberapa alasan klasik yang sering penulis dengar. Diantaranya untuk semangat belajar, motivasi berkarya, karena cinta, karena dia satu satunya, ada juga yang memang tidak ada alasan untuk mencintai seseorang.

Bagi yang tidak memilih pacaran, biasanya ingin fokus belajar, fokus berkarya, membahagiakan orang tua, larangan agama, karena memang masih malu mengungkapkan dan masih banyak lagi.

Alasan-alasan di atas pernah penulis dengar di beberapa kesempatan dan juga pernah penulis lihat di berbagai ungkapan di media sosial. Alasan di atas salah? Tentu tidak, semua orang berhak mempunyai alasan untuk suatu keputusan.

Risiko Pacaran

Semua keputusan pasti memiliki risiko. Positif dan negatif bagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Antaranya lebih dapat perhatian satu sama lain, ada yang mendapat prestasi, kejutan saat ulang tahun, jalan-jalan bareng, unggah foto bareng di media sosial, kenal orang tua satu sama lain dan bisa juga berakhir di jenjang pernikahan.

Disamping itu, orang pacaran tentu bisa bertengkar, menjalani toxic relationship, buang-buang waktu, buang uang, difitnah, belum lagi jika bermasalah dengan orang ketiga, misalnya. Dan masih banyak lagi risiko orang pacaran.

Risiko Jomlo

Sama-sama memiliki dampak baik dan risiko, menjadi jomlo menurut penulis bisa meningkatkan fokus belajar, memiliki kehidupan adem ayem, bisa dekat dengan siapapun, fokus cari uang, fokus beribadah, biasanya sedikit masalahnya, banyak uang jajan, dan bisa kesana kemari dengan tenang.

Memilih menjadi jomlo bukan karena tidak normal, tapi memiliki prinsip serta kuat komitmennya, atau mungkin bisa saja sudah dijodohkan oleh orang tuanya.

Saling Menghargai Ranah Privat

Bagi milenialis yang sudah membaca tulisan sebelumnya baik tulisan yang mendukung pacaran ataupun tidak, boleh menentukan sebuah pilihan.

Keputusan tersebut merupakan hak serta ranah privasi setiap orang yang memilih pacaran atau tidak. Ranah tersebut tidak dapat kita ganggu kecuali diganggu oleh keluarga inti baik orang tua atau adik serta kakak.

Tidak elok mengejek atau mencibir satu sama lain, yang pacaran mengejek yang tidak pacaran dan sebaliknya. Tak perlu saling tuduh satu sama lain apalagi yang tidak pacaran mengajak yang pacaran untuk segera mengakhiri hubungan dengan berbagai macam alasan.

Apapun keputusannya baik pacaran atau tidak silakan dinikmati hasil keputusan dan risiko masing-masing. Yang jelas dari semua keputusan tersebut harus membuat kita tetap bahagia dan semangat menjalani hidup.

Penulis: Fathin Robbani Sukmana

Penyunting: Aunillah Ahmad