Setiap orang mendambakan pekerjaan yang layak, menghasilkan banyak uang, dan kalau bisa kerjanya santai. Saya rasa hampir semua orang pengin menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dengan menjadi PNS, orang bisa memperoleh ketiganya. Banyak uang, pekerjaan yang layak, dan tentunya santai. Tak ayal setiap kali ada tes CPNS, pendaftarnya bisa jauh lebih banyak dari peserta audisi Liga Dangdut Indonesia.

Sayangnya kuota penerimaan PNS nggak mau menampung orang sebanyak itu. Makanya orang-orang yang gagal jadi PNS pasti terlempar ke pekerjaan lain.

Dengan ditolaknya ratusan atau bahkan ribuan orang dari seleksi CPNS, membuka peluang bagi jenis pekerjaan lain untuk menjaring orang. Coba bayangin, kalau semua jadi PNS siapa yang mau mengantarkan kamu dari rumah ke stasiun?

Siapa yang mau mengantarkan bakso ke depan rumah? Siapa yang mau bikinin kaosmu? Sepatumu? Siapa yang menyediakan kuota internet?

Makanya, ada juga yang kerjanya nyablon kaos. Nyetak buku, nyetak undangan, nyetak spanduk. Nangkep maling sandal. Jualan obat. Penulis. Dan masih banyak lagi.

Namun dari sekian banyaknya jenis pekerjaan, ada satu pekerjaan yang mewakili semuanya. Satu pekerjaan yang sebenarnya dasar dari seluruh pekerjaan yang ada, yaitu berdagang.

Berdagang menjadi cikal bakal munculnya jenis pekerjaan lain. Meski kita sering mengira bahwa berdagang adalah sebuah entitas pekerjaan yang berdiri sendiri. Padahal tidak begitu. Coba kamu sebutkan pekerjaan apa yang tidak berdagang?

Indonesia telah lama akrab dengan berdagang. Dahulu kala masyarakat kita menjadikan berdagang sebagai jalan tempuh untuk menyebarkan budaya, agama, ras, suku, dan segalanya. Alhasil berdagang pun melebur ke dalam tubuh Bangsa Indonesia dan menyatu ke dalam jati diri setiap warganya.

Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa segala macam pekerjaan intinya adalah berdagang. Ada transaksi di mana dua individu memainkan peran. Satu sebagai pembeli, sedang yang lainnya berperan penjual.

Mana pekerjaan atau profesi yang sama sekali tidak berdagang? Mungkin sebagian dari kamu menganggap PNS itu sebuah pekerjaan yang bukan menjual apa pun, entah jasa atau produk. Otomatis nggak ada transaksi—jual-beli—di dalamnya.

Namun, sungguh naif dan keliru jika mengatakan PNS itu bukan berdagang. Apalagi sampai yakin PNS bersih dari berbagai macam transaksi. Siapa sangka, PNS itu justru pekerjaan yang paling banyak transaksi jual belinya. Bahkan sebelum orang itu resmi menjabat pegawai negeri.

Orang rela keluar uang yang tersimpan dalam saku dan rekeningnya demi lolos tes CPNS. Buat tes inilah, tes itulah, belum lagi uang sewa lain yang terduga yang bisa jadi tak direncanakan. Semua itu semata-mata supaya lolos ke pekerjaan yang tunjangannya lebih banyak ketimbang gajinya itu.

Ustaz atau penceramah kiwari juga berdagang. Bukan berdagang kopyah, sarung lurik, atau baju koko yang hanya ramai ketika menjelang puasa dan lebaran doang. Melainkan berjualan agama. Tak perlu menyetok barang, tak membutuhkan modal hingga ratusan juta. Cukup bermodal peci, sorban, dan apa saja yang bersimbol agama, lalu penjual agama bakal laris manis tanjung kimpul.

Kalau pedagang batik yang ia promosikan ke media sosial itu batiknya. Begitu pula penjual pempek yang mustahil menyediakan paku payung dan baut di sebelah pempeknya. Nah, sedangkan ustaz itu yang dijual ayat-ayat suci.

Ayat-ayat suci dirombak. Kemudian dicincang-cincang untuk dibagikan kepada orang lain yang kepalang nafsu dengan agama. Dibagikan kepada orang yang haus akan hijrah seketika. Hijrah yang langsung membuat orang bisa memperoleh golden tiket ke surga tanpa jungkir balik melewati Sirathal Mustaqim.

Tampaknya berdagang agama dengan menjadi ustaz ini lebih potensial meraup pundi-pundi rupiah yang jumlahnya bisa jadi mampu untuk membayar UKT selama tiga semester. Lihatlah bagaimana ustaz-ustaz yang memperdagangkan agama begitu menjamur di media sosial.

Bahkan di antara mereka berasal dari agama lain yang sengaja masuk Islam. Kemudian menjadi ustaz atau pemuka agama versi media sosial. Lantas—mohon maaf—berdagang agama.

Pekerjaan menyediakan sebuah jasa itu juga termasuk berdagang. Misalnya, jasa pengiriman paket, berarti yang dijual akses mengirimkan paket dan tenaga kurirnya; jasa pengetikan yang dijual kemampuan mengetik; jasa foto yang dijual kemahiran dalam menangkap gambar; sampai jasa buzzer yang dijual akun boot.

Segalanya adalah berdagang. Orang yang mentok nggak punya pekerjaan pun ujung-ujungnya cara memperoleh uangnya ya dengan berdagang. Memang dalam kondisi apa pun, semendesak bagaimanapun, kita tak bisa lepas dari berdagang.

Agama diperdagangkan. Jasa dijualbelikan. Sampai-sampai akun Twitter seumur jagung pun bisa menyublim menjadi rupiah. Sungguh berdagang telah mendarah daging dalam masyarakat Indonesia. Mari kita lestarikan!