Beberapa minggu sebelum libur panjang semester ini, saya yang berprofesi sebagai asisten dosen mendapati fenomena unik yang berkaitan dengan kejujuran mahasiswa ketika ujian. Saya dapatkan beberapa berkas lembar jawab ujian mahasiswa memiliki jawaban yang persis alias mirip. Padahal soal ujian jelas-jelas menginstruksikan untuk menjelaskan saran, opini, dan rekomendasi mahasiswa terhadap suatu kasus. 

Logikanya, jawaban mahasiswa satu dengan yang lain harus nya berbeda. Pun jika gagasan atau sarannya ternyata sama, pasti kata-kata untuk menjawab soal harusnya berbeda. Disitu saya merasa curiga dan bertanya-tanya, pasti ada apa-apanya. Ternyata dugaan saya terkuatkan setelah tim menemukan hampir puluhan mahasiswa memiliki jawaban yang sama persis atas pertanyaan opini. 

Ternyata memang benar, sekelompok oknum mahasiswa telah melakukan kecurangan sistematis saat ujian waktu itu. Tidak heran jika ujian yang dikerjakan dengan sistem daring dan bersifat tutup buku dapat membuat celah-celah kecurangan yang begitu massive

Sistem ujian daring memang telah menjadi pilihan mutlak di satuan pendidikan di masa pandemi ini. Dosen memberikan soal dan mahasiswa diawasi secara daring semaksimal mungkin. Sekalipun kamera depan diwajibkan untuk dinyalakan, namun tulisan :  

Demi Allah, saya mengerjakan dengan sesungguhnya, tidak bekerjasama, dan tidak membuka referensi yang lain dalam bentuk soft maupun hard copy” 

Nyatanya tidak membuat hati dan prinsip mahasiswa ini teguh diatas kejujuran. Mereka terlena akan kemudahan dari ujian daring yang minim pengawasan ini untuk melakukan kecurangan. Disinilah prinsip yang menyangkut kejujuran mahasiswa diuji. 

“Mau diawasi kaya gimana pun, percuma! pengawas ujian engga akan tahu apa yang kita lakukan” katanya 

Mahasiswa yang masih punya pemikiran seperti ini mencerminkan rendahnya integritas. Pasalnya mereka hanya mengakui penilaian dari manusia yang utama dan mengesampingkan penilaian dari Allah. Hal ini terlalu mencemaskan jika dibiarkan terus-menerus. Karena hal ini akan berdampak saat mahasiswa menghadapi hal-hal atau tantangan yang lebih besar kedepan. 

Contohnya pada saat mengerjakan tugas akhir ataupun pada saat menghadapi dunia pekerjaan. Bentuk kecurangan bisa jadi akan mengantarkan mereka untuk melakukan kecurangan lain. Manusia boleh jadi tidak mengetahui, tapi ketahuilah Allah tidak akan melewatkan satu hal pun.

“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berasa. Dan Allah Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Hadid:4)

“Ah, nggak papa, toh juga buka PPT sedikit engga full” katanya lagi

Eits, upaya untuk melakukan kecurangan baik sedikit atau banyak tetaplah bernilai CURANG! Hal ini sama saja dengan perkataan oknum koruptor “gapapa korupsi uang rakyat sedikit, toh engga sampai triliunan”. Apalagi soal bekerjasama saat ujian, sedikit atau banyak ya tetap curang! Tanpa disadari, dengan kecurangan yang dilakukan selain mendustai diri sendiri juga mendustai Allah lho. 

“ … Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan mengantarkan pada neraka. Jika seorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muslim no. 2607). 

“Di massa pandemi ini, emang ada yang jujur ngerjain ujian?” sangkalnya lagi

Pikiran seperti ini lagi-lagi membuat saya terkekeh sinis. Benar juga jika mahasiswa memanfaatkan massa pandemi ini untuk dapat bermudah-mudahan dalam “bekerjasama”. Pengawasan tidak seketat ujian luring atau offline. Pun, jika ditemukan mahasiswa yang masih sibuk cari jawaban (kondisi offline) pasti sanksinya lebih berat. Di massa pandemi ini pengawas pun otoritasnya hanya memantau mahasiswa secara daring tanpa tahu yang dilakukan mahasiswa dibalik kamera yang menyala. 

Saya teringat betul kata salah satu Dosen suatu waktu, bahwasanya tidak ada pengaruh untuk pengajar jika mahasiswa mendapat nilai bagus atau jelek. Itu kembali pada mahasiswa untuk memandang sebuah nilai. Apakah dari nilai tersebut dapat menjadikan mahasiswa yang lebih baik atau cukup angkuh dengan “baiknya nilai” sekalipun didapatkan dari perbuatan curang. 

Maka jika kita tahu bahwa esensi nilai bukan saja tentang yang tertulis di kertas, melainkan bagaimana nilai dapat menjadikan kita lebih baik, inilah sebetulnya yang pendidik inginkan. Jika saat ini masih ada mahasiswa yang orientasinya adalah buta nilai alias menghalalkan segala cara untuk dapat nilai yang baik, udah ketinggalan zaman! 

Bukankah nilai bagus yang didapat dari sesuatu yang buruk itu tetap bernilai buruk? Bagaimana dari sisi keberkahannya? Tentu saja jelas tidak berkah. Teman-teman dapat bayangkan jika nilai yang kita peroleh akan tertulis di ijazah. Nantinya ijazah dipergunakan untuk mendaftar kerja, sekolah, atau lainnya.

Sekalipun ijazah dapat menjadi alasan untuk lolos hingga menjadi karyawan di suatu perusahaan atau semisalnya lalu mendapat gaji setiap bulanya. Setiap bulan, gaji itu digunakan untuk keperluan diri, keluarga, bahkan orang lain. Lantas siapa saja yang menanggung ketidakberkahan atas kecurangan tersebut? 

Pandemi atas izin Allah telah banyak mengajarkan pelajaran hidup yang tidak bisa didapatkan di bangku kuliah. Salah satunya adalah tentang kejujuran. Apakah dengan kelonggaran sistem perkuliahan dan ujian daring dapat dijadikan ajang untuk bermudah-mudahan dalam “bekerjasama”? 

Mulai sekarang, ubahlah cara pandang terhadap sebuah nilai. Jangan halalkan segala cara untuk hanya dapat mendapatkan nilai bagus. Jika kita belum bisa mendapatkan nilai yang baik dalam ujian, setidaknya berusahalah untuk jujur. Bukankah itu yang lebih mulia disisi Allah?

“… Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur” (HR. Muslim). 

Selamat berproses!

Foto : Pexels

Editor : Saa