Alasan sebagian orang -yang domisilinya di luar daerah pegunungan- memutuskan untuk memberanikan diri mengendari sepeda motor di area yang cukup ekstrim biasanya ada dua. Yang pertama adalah tuntutan pekerjaan -seperti saya yang tempat tugasnya di sebalik daerah pegunungan. Yang kedua adalah keinginan untuk mencapai daerah wisata yang ada di sana.

Kedua alasan tersebut tampak bertolak belakang. Yang satu karena terpaksa dan yang kedua karena terdesak keinginan. Baiklah, bagaimanapun keduanya akan menjadi cikal bakal munculnya keberanian yang selama ini terpendam.

Hal pertama yang pertama kali perlu dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk mengendari sepeda motor dibanding menaiki angkot karena penasaran biayanya lebih terjangkau dan efektif, adalah memastikan seperti apa jenis tanjakannya. Jangan mentang-mentang sudah pernah berkendara di daerah pegunungan lalu merasa diri pasti bisa melintasi medan pegunungan di manapun.

Plis, jangan pernah pakai prinsip itu. Karakteristik tanjakan setiap daerah pegunungan itu berbeda. Karakteristik tanjakan menuju Bromo itu tak sama dengan Sarangan. Begitu pula tanjakan menuju Gunung Muria juga tak sama dengan dengan Danau Beratan Bedugul.

Cobalah mendengarkan pendapat masyarakat sekitar atau kawan-kawan yang pernah melintas daerah tersebut sebelum menyimpulkan, “Aku lo sudah biasa naik di daerah pegunungan.” Jika telah mendapatkan informasi valid mengenai karakteristik tanjakan yang akan kalian tempuh, silakan lanjut ke tahap berikutnya.

Saya sendiri pernah terkecoh saat diminta teman untuk menyetir sepeda motor saat perjalanan menuju Kecamatan Pule, Trenggalek. Saya kira karakteristiknya tidak jauh berbeda dengan tanjakan di area Pacet atau Claket. Ternyata saya salah, jalurnya amat ekstrim.

Baik saya maupun kawan yang duduk di boncengan sama-sama tak tahu daerah yang dituju. Walhasil, saya terpaksa memacu sepeda motor cepat karena mengikuti rombongan yang ada di depan. Selama perjalanan, saya hampir saja menyerempet kendaraan yang datang dari daerah berlawanan. Selebihnya, saya tempuh dengan jantung yang hampir copot. Tak heran begitu turun dari sepeda motor, tubuh terasa gemetar saking takutnya.

Baik, itu adalah pengalaman pribadi yang tidak dapat saya lupakan. Sejak saat itu, saya selalu mencari tahu bagaimana karakteristik tanjakan yang akan saya lewati. Termasuk saat memutuskan untuk menempuh perjalanan dari dan menuju tempat tugas saya di Kecamatan Munjungan itu.

Setelah beberapa bulan bertugas dan melihat serta mengingat tikungan-tikungan rawan saat naik angkot, barulah saya berani memutuskan untuk bersepeda. Percobaan pertama berhasil membuat mulut saya tak henti mengucapkan sholawat ataupun istighfar selama perjalanan.

Bahkan, di pertengahan jalan turun saya benar-benar butuh untuk berhenti untuk mengambil nafas, mengatur ritme jantung yang sudah seperti bedug yang dipukul, serta menenangkan pikiran. Berkali-kali saya menyemangati diri dengan kalimat khas dari film 3 idiot: All is Well.

Suatu kali, saya pernah membaca update status salah satu kawan di Facebook dengan caption yang panjang. Intinya dari caption panjang tersebut ia membanggakan diri karena telah berhasil memvalidasi kesabarannya saat memilih tetap berada di belakang truk selama jalan turun di tengah rintik gerimis.

Wah, saya langsung tepok jidat. Mungkin jika turunan yang dimaksud seperti jalan raya Ponorogo-Trenggalek via Kecamatan Sawo-Tugu, saya masih bisa menalar. Namun, ternyata turunan yang dimaksud benar-benar tajam. Sudutnya saja minimal 30° hingga 40°.

Haduh, plis deh, ujian kesabaran nggak begitu juga caranya. Ingat selalu ketika kita memutuskan untuk berada di belakang kendaraan lain, otomatis kita akan mengikuti alur kecepatan kendaraan tersebut. Padahal kemampuan rem motor kita terbatas. Kita juga tidak bisa menebak apa yang akan terjadi di depan.

Nah, saya sendiri pernah terkecoh. Awalnya saya merasa perjalanan ini mulus-mulus saja ketika mengikuti seorang bapak-bapak yang juga berkendara dengan megapro di depan saya. Di luar dugaan, si bapak yang terlihat lancar dan tenang, tiba ngerem mendadak tepat sebelum tikungan. Padahal itu letaknya di turunan. Jantung saya rasanya mau copot. Untung saya bisa mengelak dengan selamat sambil mengumpat dalam hati.

Saran saya sih, jangan pernah betah berlama-lama di belakang kendaraan lain. Apalagi jika kalian bersepeda motor dan kendaraan di depan kalian adalah truk. Ah, mobil saja sudah cukup mengganggu, apalagi truk.

Berusahalah untuk menyalipnya. Kalian bisa muncul sesekali dari arah kanan biar sopir tahu kalian hendak menyalip. Sopir akan memberi jalan dan memelankan laju kendaraan jika melewati jalan yang memungkinkan. Saat sopir melakukan itu, bersegeralah menyalip dan ucapkan terima kasih lewat suara klakson yang cukup pelan, ingat pelan saja.

Ada lagi satu saran yang jarang sekali diketahui orang. Jangan menginjak rem secara terus menerus. Saya benar-benar perlu membiasakan diri untuk menerapkan saran ini.

Ini memang menegangkan, tapi itulah yang terbaik. Menginjak rem terus-terusan akan membuat kampas rem panas dan bisa jadi tak berfungsi lagi. Jadi, silakan tarik nafas dan putuskan di bagian mana kalian perlu melepas rem sejenak -cukup beberapa detik saja, ya- bahkan pada jalanan turun sekalipun.

Jika kalian mengendarai sepeda motor matic, ini akan sedikit menegangkan karena sepeda akan meluncur seolah tanpa pemberat di bagian belakang. Tapi, jika kalian siap dan telah terbiasa dengan motor matic, ya tidak apa-apa. Kalau saya pribadi sih, lebih suka naik motor non matic.

Selain itu, biasakan diri untuk bertumpu pada rem belakang. Itu jauh lebih aman dibanding rem depan. Apakah rem depan tidak boleh digunakan? Boleh-boleh saja, sih. Tapi jangan terlalu banyak bersandar pada rem depan. Tahulah alasannya apa.

Pada beberapa tikungan yang amat tajam, biasanya tersedia cermin cembung pengganti spion di tepi jalan. Manfaatkan fasilitas tersebut. Lihat baik-baik. Ini akan sangat membantu.

Jika tidak ada, gunakan klakson dengan suara keras. Hal ini untuk mengabarkan bahwa kalian ada kepada pengendara lain -yang mungkin ada- dari arah yang berlawanan. Sehingga jadinya sama-sama enak dalam berbagi jalan di tikungan.

Nah, ini yang penting juga. Jangan pernah mengalihkan pandangan ke mana-mana meski seberapa menariknya pemandangan yang kalian lewati. Jika kalian memandang sekilas itu tidak masalah. Namun, jika kalian menatapnya lama itu akan jadi masalah. Tanpa sadar, sepeda motor akan bergerak ke arah yang kalian lihat. Jika sudah begini, lengah sedikit saja sudah ambyar.

Nah, saran terakhir silakan dipraktikkan dengan gembira. Jangan ada rasa ragu atau takut. Karena kunci utamanya adalah yakin. Selamat menikmati asyiknya berkendara di daerah pegunungan.