Waktu saya masih MTs dahulu, angkot hampir selalu menjadi transportasi andalan yang saya gunakan ketika hendak berangkat atau pulang sekolah. Maklum saja, mengingat orang tua saya sendiri-apalagi saya dan adik-tidak punya kendaraan pribadi.

Dalam kurun waktu tersebut, tentu saja ada banyak kenangan yang terukir di dalam hati maupun pikiran saya. Mulai dari musik-musiknya, kejadian lucu atau tak terduga, hingga tipe-tipe driver angkot yang kerap saya jumpai.

Secara garis besar, ada tiga tipe sopir angkot yang biasanya akan saya temukan pada saat naik angkot di era MTs dahulu. Tanpa perlu saya berbicara panjang kali lebar, berikut ini di antaranya.

Diskonan

Di zaman saya bersekolah dahulu, ada beberapa sopir angkot yang mau menurunkan tarifnya dari ketentuan. Meskipun berisiko, strategi tersebut selalu manjur untuk menaikkan jumlah konsumen dari kalangan anak-anak sekolah berkali-kali lipat.

Biasanya sih para sopir tersebut akan menurunkan tarifnya sebesar Rp500, di mana tarif yang seharusnya adalah Rp1500 dikorting menjadi Rp1000 atau Rp2000 menjadi Rp1500. Tapi pernah juga ada beberapa sopir angkot yang berani memangkas tarifnya menjadi setengah harga, di mana tarif yang seharusnya dibayar adalah Rp2000 menjadi Rp1000 saja.

Gaul

Selain tipe diskonan, tipe sopir angkot gaul juga biasanya akan digandrungi oleh anak-anak sekolah. Setiap jam berangkat atau pulang sekolah, angkot yang dikemudikan oleh sopir gaul ini hampir pasti akan disesaki oleh para pelajar. Beberapa di antara penumpangnya tersebut bahkan sampai harus bergantungan di pintu masuk.

Umumnya sih, tipe driver semacam ini didominasi oleh kalangan anak-anak muda. Kalau dilihat dari perawakannya, kemungkinan besar rata-rata usia para driver gaul ini berkisar di angka 20-an hingga 30 tahun ke atas sedikit.

Selama naik angkot yang dikemudikan oleh sopir gaul, setidaknya ada dua kepuasan yang bisa didapatkan. Pertama, saya bisa menikmati layanan music yang begitu menggelegar. Kedua, saya juga bisa menikmati aksi-aksi balapan ala Dominic Torretto atau Brian O’Conner secara langsung. Ada kalanya sesama sopir gaul akan mengadakan semacam balapan meskipun hal tersebut jelas sangat-sangat berbahaya.

Tidak terlalu sulit untuk menemukan sopir seperti ini di jalanan yang begitu luas. Jika angkotnya memiliki ornamen-ornamen nyentrik seperti knalpot racing atau bemper gede, besar kemungkinan kalau sopir yang ada di balik kemudinya tersebut adalah driver gaul.

Di samping itu, sopir gaul ini juga pada umumnya merangkap sebagai driver diskonan. Mereka biasanya mau-mau saja menurunkan tarifnya demi anak-anak sekolah. Yang terpenting, setorannya lancar tanpa mengalami macet. Hehehe.

Langganan

Pada saat masih duduk di bangku MTs dahulu, saya tergolong ekletik dalam urusan naik angkot. Biasanya saya hanya mau naik angkot-angkot jenis tertentu. Pada umumnya, pilihan saya tersebut didominasi oleh angkot-angkot gaul atau yang dikemudikan oleh sopir gaul.

Karena kebiasaaan saya tersebut, kemudian para sopir yang kerap saya tumpangi tersebut berubah seperti langganan tak resmi. Mereka sampai mengenali wajah saya meskipun tidak sampai tahu nama saya. Akan tetapi, saya tahu dan ingat beberapa nama dari driver angkot tersebut hingga saat ini. Beberapa di antaranya ada Om Iyus, Bang Kancil, Bang Tori, dan lainnya.

Ketika sudah menjadi langganan, biasanya saya akan mendapat beberapa privelese. Di antaranya adalah potongan tarif hingga ‘jalan-jalan’. ‘Jalan-jalan’ yang dimaksud di sini adalah saya diizinkan untuk menemani sang sopir selama satu rit.

Lumayan lah, itung-itung saya bisa mengeksplor beberapa daerah di Bandar Lampung. Biar kalau nyasar nanti saya tak benar-benar buta arah. Bisa dibilang, kenangan bersama ketiga tipe sopir angkot tersebut adalah penyebab mengapa saya terkadang merindukan Kota Bandar Lampung. Sulit bagi saya untuk menemukan sopir angkot seperti ini di Jakarta. Ah, ngomongin rindu kok jadi ingat doi?

Editor : Hiz

Foto : Otosia