Banyak pengalaman yang bisa didapatkan selama kuliah, salah satunya adalah pengalaman ngekos yang sedikit lucunya, banyak apesnya. Kalian mungkin punya pengalaman ngekos di tempat yang membebaskan doi keluar masuk kamar? Atau malahan berkali-kali dipertontonkan dengan penampakan metafisik beragam bentuk dan rupa dedemit? Atau, mungkin justru apes dapet kos-kosan yang tiap laptop ditinggal barang cari makan siang, udah ilang, vanished into thin air? Itu sudah biasa lah ya, meh.

Nah, kalau pengalaman saya sih amazing-amazing banget, cuma nggak bisa dibilang mainstream juga. Jadi, selain gemar tidur sana-sini karena punya kenalan marbot masjid, saya juga kerap melanglang buana nginep di kosan teman. Dari situ lah perkenalan saya dengan kos binaan bermula. Saat awal mula kuliah di Solo, semester satu saya cuma coba-coba ambil kos bulanan. Tujuannya jelas, agak bisa memetakan secara komprehensif, mau pindah ke kos mana nih yang kondusif buat kuliah selama empat tahun.

Sampailah saya pada salah satu kos binaan yang pada waktu itu lokasinya masih ada di kawasan Gendingan, depan samping gerbang UNS, dekat Taman Satwa Taru Jurug. Awalnya kos binaan itu penuh, saya bisa masuk di semester dua karena salah satu penghuninya diterima di STAN, biasa lah ya, impian anak SMA jaman itu, masuk perguruan tinggi ikatan dinas.

Buat kalian yang belum ngeh banget dengan istilah kos binaan atau kosbin, ini semacam kos-kosan terprogram. Nggak seperti pesma atau pesantren mahasiswa yang beneran nyantri pagi siang malam setor hafalan, kos binaan nggak se-strict itu target amalannya. Di kos binaan yang saya tempati misalnya, hanya ada kewajiban shalat berjamaah di masjid, tadarus bareng tiap Selasa malam, piket kebersihan terjadwal harian, dan kultum Jumat pagi ba’da subuh sekaligus rapat kos mingguan.

Kesalehan, Heroisme Prestasi Akademik dan Organisasi, dan Urusan Jemuran yang Tidak Ada Habisnya

Tidak seperti banyak mahasiswa baru lain yang merasa terjebak dan terjerumus karena ditawari iming-iming harga murah kos binaan, saya memang sejak awal sudah beberapa kali nginep di kos kawan saya ini. Sejak ospek fakultas, bersama-sama nggarap atribut aneh-aneh tugas ospek yang bikin nggak tidur sudah pernah saya lalui disini.

Saya makin takzim ketika tahu ketua ospek dan jajaran mas-mas yang sering nongol dari pagi sampai sore di kampus ternyata juga ngekos di sini. Jadi sejak awal saya sudah mengira bahwa kayaknya kalau ngekos di kos binaan bisa jadi orang gede nih, minimal kayak mas-masnya yang berani bentak-bentak mahasiswa baru.

Meskipun demikian, nggak akan jadi cerita yang bisa dikenang dong kalau isinya cuma kesalehan dan heroisme prestasi akademik dan organisasi. Hal-hal yang paling nggapleki menurut saya ya bukan soal kaos atau celana dalam yang hilang entah dipakai siapa. Akan tetapi, justru jemuran yang jamuran dan rendaman baju yang berhari-hari nggak ndang dicuci. Aroma busuk keringat dan kecut bakteri fermentasi alami sering sekali jadi adu sindiran bernada tinggi tiap kali rapat kos diadakan.

Selain itu, tentunya nggak boleh merokok dan pacaran dong, namanya juga kos binaan. Makanya kalau ketahuan dikit-dikit boncengan sama cewek ya, nggak bisa nggak, pasti jadi bulan-bulanan teguran mas-mas kos. Juntrungannya jelas, paling tahun depan nggak lanjut ngekos di situ.

Kos Binaan Jadi Sarang Politik Kampus

Lebih dari itu, satu pola yang saya amati dan dari kos binaan yang saya tempati, hampir semua organisasi minimal tingkat fakultas, ketuanya pasti dari kosbin saya! Ketua himpunan prodi mah udah biasa, nah kalau ketua BEM, ketua SKI, ketua organisasi keilmiahan, dari kosbin saya juga, itu sih nggak bisa dibilang biasa.

Bahkan pernah kok presiden BEM UNS juga anak kos binaan saya, setelah saya telisik lebih lanjut, ya itu memang soal naik turun politik kampus sih. Sudah jadi hal yang jamak kalau peta perpolitikan di kampus juga disusupi banyak kepentingan oleh organisasi sayap partai politik riil di pemerintahan.

Pada akhirnya, yang bikin saya keluar dari kos binaan juga soal politik juga, ketika mas-mas kosan jadi presiden BEM fakultas, dan lebih memilih orang lain jadi menterinya, ketimbang saya yang jelas-jelas adik kosnya. Ya saya memilih trimo mundur timbang lara ati.

Toh, telah banyak juga kenangan berharga dari kos binaan yang saya dapatkan, dari lolos proposal PKM, touring puluhan motor Solo-Pacitan, sampai teriak-teriak nobar Liga Inggris tiap Sabtu malam. Setelah keluar dari kos binaan pun, tabiat benalu saya tetap terpelihara subur. Nginep berhari-hari dan titip barang di kamar kos binaan, nggak terhitung lagi seberapa seringnya. Wo lha pancen tuman!

Penyunting: Halimah
Sumber gambar: Cah Unnes