Penasaran rasanya jadi pengidap achrofobia?

Setiap diajak teman-teman berfoto di ketinggian, entah itu hanya di di balkon hotel, di atas jembatan, puncak bukit, langsung membuat saya gemetaran, dada berdebar, pusing, berkeringat dingin muncul di tengkuk hingga telapak tangan.

Padahal belum dilakukan, baru membayangkannya saja sudah bikin cemas. Membayangkan ketinggiannya saja sudah menjadi perjuangan tersendiri. Apalagi proses mencapainya, waah penuh perjuangan sekali. Boro-boro foto-foto. Jauhlah dari bayangan saya. “Gile lu ndro, ngajak-ngajak orang fobia ketinggian kayak gue!” ujar saya ke seorang teman yang antusias. Saya memilih dicrop wajah saja secara digital, alih-alih foto bersama di ketinggian.

Jujur saya sih bisa saja memaksakan ikut naik, tapi kalau ada apa-apa siapa yang mau ngangkut saya. Jarum timbangan manual saja semakin ke kanan alias nambah bobot. Hayooo! Selain itu bukan berarti juga saya penakut Saudara, cuma tidak berani melihat ke  bawah saja pas di atas. Dan memang cenderung menghindari ketinggian. Jadi kalau ada helikopter yang bisa ngangkut, saya lebih memilih naik helikopter menuju lokasi foto-foto di atas.

Sebenarnya saya sendiri menyadari fobia ketinggian ini tidak wajar, tapi terus terang saya tidak bisa menghindarinya. Makanya sungguh teganya kalau ada orang yang mengolok-olok orang yang takut ketinggian adalah seorang penakut.

Melihat film-film layar lebar dengan adegan di gedung tinggi saja sudah membuat telapak tangan saya berkeringat. Terutama saat si bintang film melihat ke bawah gedung. Hadeeeh, udah ikut pusing. Jadi, boro-boro naik sampai puncak tertinggi sebuah gedung, membayangkannya saja sudah ngeri-ngeri sedap.

Saya mencoba mencari di internet tentang gejala fobia ketinggian ini. Saya pun mengklik situs alodokter.com yang berada di urutan paling atas yang muncul di pencarian, menyebutkan fobia ketinggian atau akrofobia merupakan ketakutan yang berlebihan terhadap ketinggian. Rasa takut yang dialami pengidap achrofobia dapat menimbulkan beberapa gejala, seperti kecemasan, stres, hingga panik, saat berada di tempat tinggi.

Dan ternyata saya tidak sendirian di dunia ini menghadapi kenyataan ini. Seorang teman facebook saya Fanny Nasril mengunggah status di dinding facebooknya berjudul ‘Life against Achrofobia’. Ia menulis :

Hari ini saya berhasil menaiki jembatan penyebrangan di daerah Pasteur, walau dengan mata sedikit gelap, jantung berdebar kencang, dan nafas sesak (sehingga saya harus membuka masker). Sepanjang jembatan, saya berusaha memegang railing besi, mengatur nafas, dan mengatur emosi (terutama ketika angin berhembus kencang). Ngeri lah. Tapi Alhamdulillah, saya bisa mengatasi ketakutan ketinggian hari ini. Juarak!”

Haaah, saya baru tahu juga ternyata teman satu kelas kuliah itu  adalah pengidap achrofobia juga. Waah baru terbongkar kesamaan kami akan fobia ketinggian ini. Dan di kolom komentarnya muncul pula teman-teman saya lainnya menyatakan fobia yang sama.

Sayangnya dulu kami masih tertutup akan hal ini. Coba kalau masing-masing mengaku, pasti sudah bikin klub sendiri ‘Achrofobia Club’, keren juga ‘kan. Awas jika ditambah kata house akan tertukar dengan yang muncul dan viral saat ini yakni aplikasi audio terbaru dari Apple yakni ‘Clubhouse’, hehehe.

Ya setidaknya bisa saling berbagilah jika semua penderita achrofobia ini bergabung dalam semua wadah komunitas. Bukankah salah satu terapi efektif penyembuhan sebuah penyakit salah satunya adalah bercerita, berbagi dan menuliskannya? Apalagi manusia memang mahluk bercerita atau homo fabulans.

Nah nantinya klub ini dapat mengundang ahli dan pakar yang dapat memberikan nasehat atau bahkan penyembuhan bagi penderita achrofobia ini. Bisa juga bikin webinar-webinar tentang pengetahuan achrofobia ke masyarakat luas dan penyembuhannya, baik medis dan tradisional, misalnya. Gimana, wahai kawan-kawan achrofobia? Siap dibentuk? Yuk.

Editor : Hiz

Foto : Air Magz