Maraknya penyebaran virus corona Covid-19 telah menyebabkan terjadinya perubahan sosial di masyarakat salah satunya didukung dengan teknologi komunikasi. Perubahan terjadi pada cara berkomunikasi yang dilakukan oleh masyarakat saat ini karena adanya sistem penerapan social distancing selama pandemi ini berlangsung di Indonesia. Perubahan tersebut masyarakat dituntut untuk melakukan kerja, belajar, dan berhubungan sosial dengan jarak jauh, salah satunya menggunakan media sosial.

Kemunculan media sosial memberikan kemudahan untuk masyarakat melakukan hubungan sosial tidak secara langsung selama social distancing diterapkan. Media sosial bukan hanya untuk komunikasi jarak jauh saja, dengan media sosial masyarakat semakin kreatif untuk mengeksplorasi banyak hal melalui akun pribadinya masing-masing. Namun di balik itu semua media sosial juga menyimpan negatif yang potensial mempengaruhi kualitas hidup manusia.

Alex Soojung dan Kim Pang (2010) dalam bukunya The Disraction Addiction menyebutkan bahwa salah satu dampak negatif media sosial ialah menimbulkan efek distraksi. Secara sederhana, efek distraksi dapat dimaknai sebagai sebuah kondisi di mana manusia merasa terganggu, teralihkan, terhambat konsetrasinya karena sesuatu hal yang memiliki kekuatan menghibur sekaligus mengendalikan otak manusia. Efek distraksi tidak bisa disepelekan lantaran berpotensi menimbulkan gejolak psikologi bahkan neurosis alias kegilaan. Keberadaan media sosial yang telah menjadi bagian penting dari kehidupan manusia tidak diragukan telah menyita perhatian dan sebagian besar waktu sebagian besar manusia di dunia.[1]

Selama terjadinya pemberitaan mengenai perkembangan virus Covid-19 di mana-mana membuat masyarakat menjadi bosan untuk karantina diri di rumah atau self-quarantine. Istilah self-quarantine/swa-karantina (Jose Antonio Gallego Vazquez) swa-karantina yang artinya memisahkan dan membatasi pergerakan diri karena seseorang diyakini telah terpapar penyakit menular. Dalam rangka menghilangkan rasa bosan selama physical distancing, orang-orang mulai memanfaatkan medsos semaksimal mungkin untuk mengunggah berbagai konten, mulai dari tutorial make up, makanan, minuman, sampai ikutan berbagai challenge. Sayangnya, beberapa konten yang diunggah di media sosial, tidak dibarengi dengan adanya edukasi.

 

Kontroversi Konten Mugshot Challenge

Beberapa konten challenge yang sedang ramai di masyarakat melalui media instagram, twitter, whatsapp dan lain-lain adalah Until Tomorrow Challenge, Pass The Brush Challenge, Hoddie Challenge, Dalgona Coffe, Mugshot Challenge dan sebagainya. Namun di balik itu, terdapat kontroversi pada salah satu konten yang dibuat oleh masyarakat Indonesia yaitu Mugshot Challenge. Tantangan membuat make up ala tahanan dengan wajah yang babak belur ini meniru pose setengah badan tahanan di depan kamera sebelum dimasukan ke dalam penjara. Sebenarnya sih seni make up seperti ini sudah tidak asing, sudah dapat disaksikan di berbagai film kriminal.

Tapi pada dasarnya lebih banyak orang yang tidak suka ketika fotonya diabadikan saat dalam keadaan jelek, seram, dan sakit. Bukan hanya para korban kekerasan saja yang mungkin tersinggung, ternyata sebagian polisi di luar negeri juga ikutan tersinggung dengan adanya Mugshot Challenge semacam ini yang seolah tengah menyindir tindakan para polisi. Bagi orang yang hidupnya normal dan tidak pernah mengalami kekerasan tentu bakal bilang bahwa orang yang kontra dengan Mugshot Challenge terlalu baper (bawa perasaan) dan membatasi kreativitas orang lain dalam mengekspresikan bakatnya.

Padahal,

menurut Marina A (Komisioner Komnas Perempuan), ia mengatakan bahwa “Memperlakukan   kekerasan dendam tidak serius adalah bentuk ketiadaan empati terhadap korban kekerasan selanjutnya”. Sedangkan menurut Siti Aminah (Komisioner Komnas Perempuan) mengatakan “Budaya kekerasan di masyarakat dapat dihentikan salah satunya dengan tidak mengikuti tantangan yang mengandung pembenaran terhadap tindak kekerasan”.

Mariana mengatakan tantangan ini tak masalah untuk menghapus empati terhadap kondisi serius, akan tetapi publik juga perlu belajar dan berlatih terus-menerus untuk bisa berempati. Meski demikian Siti Aminah menilai tantangan ini tidak dikaitkan dengan para korban kekerasan, tantangan ini sebagai eskpresi yang tidak dapat dilarang. Namun yang dibangun oleh publik adalah kepekaan dan kontrol diri termasuk dalam mengikuti tantangan ini, Siti pun menyarankan agar masyarakat mengikuti tantangan yang lebih mempertimbangkan perasaan korban dan keberpihakan untuk menghapus kekerasan.

Terdapat juga pendapat warga twitter dalam akun @diganakocok yang menjelaskan bahwa meski dianggap menyudutkan polisi dengan menunjukkan kondisi seseorang yang baru ditangkap dengan kondisi babak belur, challenge ini juga menunjukkan sindiran bahwa seharusnya mengedepankan negosiasi daripada kekerasan dan dianggap tidak memiliki empati.

 

Penulis: Mia Nur Aprilia

Editor: Halimah

 

[1] https://jalandamai.org/distraksi-media-sosial-dan-efek-infodemik-corona.html

sumber gambar: www.pinterest.com