Bulan Ramadan merupakan bulan yang teramat istimewa bagi saya. Bulan kesembilan di dalam penanggalan Hijriyah tersebut memberikan saya banyak pelajaran yang berharga. Salah satunya adalah soal berbicara di depan publik atau istilah kerennya adalah public speaking.

Yup, kejadian tersebut sudah berlangsung sekitar sepuluh tahun lalu. Tepatnya pada saat saya masih duduk di bangku kelas 11 SMA dan tinggal di Kota Bandar Lampung. Pada bulan Ramadan yang jatuh di tahun 2011 tersebut, saya didapuk menjadi salah satu penceramah di musholla dekat rumah saya.

Tentu bukan tanpa alasan alias ujug-ujug begitu saja saya dipilih untuk menjadi penceramah alias da’i pada saat itu. Sebelumnya, saya sering sekali diikutsertakan di dalam perlombaan da’i oleh teman-teman di sekolah. Sayangnya, prestasi terbaik saya pada perlombaan tersebut hanya menjadi juara ketiga dari tiga peserta. Hehehe.

Berbekal hal tersebut, orang tua kemudian mendaftarkan saya untuk menjadi pengisi kultum di sela-sela shalat tarawih. Kebetulan papa saya merupakan ketua dari pengurus musholla di dekat rumah pada saat itu. Dengan demikian, Beliau dapat dengan mudah memasukkan anaknya untuk menjadi penceramah shalat tarawih.

Beliau mempunyai banyak buku agama yang tersimpan dan tertumpuk di lemari khusus. Dengan demikian, saya tak perlu repot-repot untuk mencari materi ceramah. Terlebih papa juga turut membantu anaknya-yakni saya-untuk menyusun materi ceramah.

Seingat saya nih ya, saya memilih untuk membawakan materi soal bahaya hasad atau dengki pada saat itu. Materi ini saya pilih karena jarang atau bahkan belum pernah dibawakan oleh penceramah sebelumnya.

Meskipun sudah punya pengalaman, yakni menjadi peserta pada perlombaan da’i di sekolah, memberi ceramah di depan jamaah musholla jelas terasa begitu menegangkan. Untuk pertama kalinya, saya akan berbicara di hadapan jamaah yang terbilang heterogen. Mulai dari anak-anak hingga bapak-bapak dan ibu-ibu yang biasa memberi ceramah akan menyaksikan penampilan perdana saya di depan mimbar musholla.

FYI, saya menjadi penceramah paling muda pada saat itu. Saya menjadi satu-satunya anak SMA yang diberi kesempatan untuk menyampaikan kultum di musholla. Istimewa dari segi umur namun tidak demikian dari segi penampilan.

Pada hari H saya memberi ceramah, penampilan saya bisa dikatakan memiliki banyak kekurangan. Selain hanya bisa berbicara selama kurang lebih lima menit, saya juga kerap mengalami delay ketika hendak menyampaikan materi kultum. Dengan demikian, saya terpaksa membaca contekan materi yang terdapat di dalam saku celana. Beruntung, setidaknya saya mampu mengendalikan rasa gugup di depan audiensi.

Meskipun demikian, ada saja yang ternyata mengapresiasi ceramah saya pada malam itu. Salah satu jamaah-yakni seorang bapak-memberi isyarat melalui ibu jempolnya ke hadapan saya. Istimewa rasanya mengingat bapak tersebut dikenal tak begitu banyak bicara alias berkepribadian dingin di lingkungan rumah saya.

Semakin istimewa karena mbah putri saya dari Jakarta turut menyaksikan penampilan perdana saya sebagai penceramah. Pada saat itu, mbah putri sedang menginap di rumah saya yang berada di Bandar Lampung selama kurang lebih satu bulan. Beliau sendiri bisa dikatakan terkejut ketika melihat cucunya yang dikenal pemalu dan introvert ini berbicara di depan banyak orang.

Setelahnya, saya belum pernah lagi didapuk untuk menjadi penceramah kembali. Meskipun demikian, pengalaman menjadi penceramah di bulan Ramadan 1432 H tersebut mampu memberi pelajaran serta cerita yang cukup berharga bagi saya pribadi. Setidaknya mental saya menjadi lebih ‘ready’ ketika diharuskan untuk berbicara di depan publik.

Editor : Hiz

Foto : FaktualNews