Saya dan suami adalah dua orang yang memiliki perbedaan yang sangat banyak mulai dari latar belakang, suku, kebiasaan, dan budaya. Saya suku Jawa dan besar di Jawa Tengah, suami saya suku Melayu dan tumbuh di Riau. Dari perbedaan tersebut, tentu saja perdebatan adalah salah satu hal yang tak bisa dihindari.

Dari golongan darah saja sudah berkebalikan, saya O, dia AB. Dia tumbuh dan berinteraksi dengan bahasa Melayu. Meskipun pernah kuliah di Jogja, dia tetap sering menggunakan bahasa Melayu. Kami saat ini tinggal di Pekanbaru yang mana masyarakatnya berasal dari berbagai suku.

Bahasa Indonesia adalah bahasa normal daerah ini, tetapi tidak dengan suami saya. Ia sering kali menggunakan istilah Melayu ketika berkomunikasi dengan saya. Saya sering kesulitan ketika dia sedang ada kesibukan dan meminta diambilkan sesuatu dengan bahasa Melayu. Saya benar-benar tidak paham apa yang ia maksud.

Untuk makanan dia sangat suka pedas, saya tidak bisa sama sekali makan pedas karena sakit GERD. Saya suka sayur, dia tidak. Saya suka telur dadar lembut, dia suka kering. Saya suka rapi, dia tidak. Saya tipe yang teratur dan terukur, mengikuti list to do, dia tidak.

Hingga suatu saat saya benar-benar jenuh dengan semua perbedaan ini. Saya sudah mencoba mengomunikasikan hal ini berkali-kali, namun hasilnya nihil. Misalnya, tentang sayuran yang seharusnya ia makan. Saya bukan ingin memaksanya memakan sesuatu yang saya suka, namun saya ingin dia tercukupi nutrisinya dari sayuran. Saya hanya ingin dia sehat.

Hampir setiap hari kami berdebat. Saya bahkan sampai LDM beberapa bulan, karena sudah tak tahan dengan berbagai macam perbedaan. Kadang saya merasa bahwa pernikahan ini tak akan berhasil. Namun dari berbagai perdebatan itu, saya terus meyakinkan dia untuk hal-hal yang rasional.

Perdebatan adalah Komunikasi

Perlahan dia mulai suka makan sayur dengan kesadarannya sendiri. Perlahan komunikasi mulai nyambung setelah hampir 3 tahun menikah. Perlahan maksud yang saya bicarakan mulai ia pahami, begitu pula sebaliknya.

Kini saya sadar bahwa perdebatan yang terjadi hampir setiap hari itu sebenarnya suatu komunikasi. Saya ingin begini, ia ingin begitu. Kami sedang menyampaikan hal-hal yang kami inginkan dan membuat kami nyaman.

Namun, tercapainya pemahaman memang tidak instan, butuh waktu lama. Maka perdebatan itu bukan hal yang sia-sia. Perdebatan justru sebuah jalan komunikasi, lebih halusnya kita sebut diskusi atau dialog. Kita saling menyampaikan dan belajar memahami.

Tak ada perdebatan bukan berarti pernikahannya sehat dan baik-baik saja. Tidak mungkin dua orang yang berbeda bisa membaca pikiran satu sama lain. Kita dengan saudara atau orang tua kita saja tidak bisa, apalagi yang baru bertemu ketika dewasa dan tak memiliki ikatan darah.

Diskusi atau dialog berarti kita sedang menyampaikan isi pikiran kita. Tak ada perdebatan berarti kita hanya memendam perasaan, memendam luka, memendam keinginan yang tak akan pernah dipahami oleh pasangan. Bahkan yang sudah disampaikan saja belum tentu dipahami dan dijalankan. Apalagi yang tidak disampaikan?

Luka, keinginan, dan perasaan yang tidak disampaikan hanya akan menumpuk dan suatu saat akan meledak. Kita merasa tak ada yang memahami, tak ada yang menghargai, tak ada yang menhormati. Padahal akar masalahnya ada pada komunikasi. Perdebatan adalah kunci komunikasi. Tak berdebat pun tidak masalah, asalkan hati juga lega. Hati yang lega akan membuat kita nyaman dan mempertahankan pernikahan.

Editor: Nirwansyah

Ilustrasi: Antaranews