Sudah jamak diketahui bahwasannya bumi Indonesia dianugerahi dengan berbagai kekayaan dan keragaman atau kebinekaan. Negeri yang memiliki luas daratan 1,92 juta kilometer persegi dan penduduk yang jumlahnya 270,20 juta jiwa (Sensus Penduduk 2020, BPS) ini, tidak hanya kaya akan keragaman aspek sumber daya alamnya. Namun, juga beragam dari aspek suku, etnis, budaya, bahasa, ras, dan agama. Sehingga, negeri kepulauan ini ditahbiskan sebagai negeri paling majemuk di dunia.

Merujuk Sensus Penduduk 2010, Indonesia memiliki 1.340 suku bangsa, 742 bahasa, dan agama/keyakinan yang pusparagam (Nenden Hendarsih, Ensiklopedia Meyakini Menghargai, 2018). Selain itu, tradisi, adat-istiadat, serta agama/keyakinan lokal juga menambah perbendaharaan kebinekaan Indonesia. Setidaknya, terdapat 187 agama/keyakinan lokal yang enam di antaranya paling banyak dianut masyarakat (Nenden Hendarsih, Ensiklopedia Meyakini Menghargai, 2018).

Barang tentu, kita patut mensyukuri keragaman dan perbedaan yang terhampar di bumi Nusantara ini. Namun, di sisi lain, perbedaan tersebut juga berpotensi menimbulkan gesekan-gesekan atau konflik besar yang tentu saja tidak diharapkan. Dan untungnya, Indonesia memiliki perekat yang relatif mampu untuk menyulap keragaman menjadi persatuan.

Historis Kebinekaan Kita

Jauh sebelum NKRI terbentuk, masyarakat Nusantara telah menyadari kemajemukan negeri ini. Kemajemukan tersebut kemudian melahirkan norma atau hukum yang hingga saat ini masih eksis, yakni Bhinneka Tunggal Ika. Sasanti atau kata-kata mutiara tersebut merupakan warisan dari seorang pujangga Kerajaan Majapahit yang termaktub dalam kitab Sutasoma

Mpu Tantular adalah pengarang dari kitab Sutasoma yang salah satu pesan dalam kitabnya tersebut telah menggelinding jauh melampaui zamannya. Ia merupakan seorang penganut agama Buddha yang tinggal di lingkungan Majapahit yang bercorak Hindu. Meskipun hidup di lingkungan Hindu, Mpu Tantular tetap merasa aman dan damai tatkala hidup berdampingan di lingkungan tersebut. Pesan yang ditulis pada abad ke-14 itu berbunyi:

“Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. ‘Konon agama Buddha, Hindu, dan Siwa merupakan zat yang berbeda, namun nilai-nilai kebenaran Jina (Buddha), Hindu, Siwa adalah tunggal. Terpecah belah, tetapi satu jualah itu. Artinya, tak ada dharma yang mendua’” (Fikih Kebinekaan 2015).

Selain warisan dari Mpu Tantular di atas, semangat kebinekaan ini kembali mendapatkan momentumnya tatkala anak-anak muda bersatu untuk melawan penajajah. Peristiwa yang terjadi pada 28 Oktober 1928 itu merefleksikan semangat persatuan tanpa memandang latar belakang (suku, ras, agama, etnis, dan bahasa).

Moto kebangsaan warisan Mpu Tantular dan semangat pesatuan kaum muda tersebut hendaknya dapat dijadikan acuan, motivasi, dan dipedomani oleh segenap masyarakat Indonesia. Menurut Sukidi, lulusan dari Univeristas Harvard, tanpa komitmen nyata dan keterlibatan aktif sebagai warga negara, kebinekaan Indonesia akan menjadi kenangan belaka dan akan tergerus secara perlahan oleh penetrasi agresif ideologi radikalisme (Harian Kompas, 4/12/2020).

Tentu, kita tidak mengharapkan Indonesia yang bineka ini masuk kedalam limbo sejarah.

Agama atau Keyakinan

Hal berikutnya yang mampu menyulap keragaman Indonesia menjadi sebuah kekuatan persatuan adalah peranan agama atau keyakinan. Setiap agama atau keyakinan tentu memiliki ajaran tentang sikap welas asih terhadap sesamanya dan juga untuk menebar kedamaian, menyemai keramahan, dan berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan.

Dalam Islam, umatnya dianjurkan untuk saling mengenal (al-Hujurat ayat 13) dan dilarang untuk mengolok-olok kaum lainnya (al-Hujurat ayat 11). Pesan dengan spirit yang sama juga terdapat dalam agama-agama lainnya, seperti Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. (Ibn Ghifarie, Merayakan Keragaman: 2018: xi—xii) 

Pesan-pesan langit tersebut bisa dikatakan berhasil dibumikan oleh sebagian kalangan umat beragama di Indonesia. Hal ini terefleksikan dari hubungan atau kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Menurut Abdul Mu’ti, hubungan antarumat bergama di Indonesia terjalin dengan baik sebagaimana riset yang dilakukan oleh Balitbang Kemenag dan PPIM UIN Jakarta (Republika, 23/1/2021).

Selain itu, Nabi Muhammad Saw. juga telah memberikan teladan hidup berdampingan dalam keberagaman berdasarkan konsensus atau kesepakatan bersama. Hal ini terefleksikan dengan adanya Piagam Madinah yang disebut juga sebagai konstitusi demokratis pertama di dunia.

Konstitusional

Indonesia merupakan negara hukum yang hak-hak kewarganegaraannya diatur, diberikan, dan diperlakukan secara sama. Norma-norma yang hidup di masyarakat atau dalam istilah Von Savigny disebut Volkgeist (Aburaera 2013) itulah yang menjadi sumber hukum suatu negara.

Dalam konteks keindonesiaan, kita mengenal Pancasila yang merupakan formula dari jiwa bangsa yang hidup di masyarakat Indonesia itu sendiri. Di samping itu, Pancasila juga menjadi titik temu dari berbagai perbedaan yang ada, baik itu etnis, suku, ras, maupun agama. Dalam sistem hukum Indonesia, Pancasila diletakkan sebagai norma tertinggi yang menduduki posisi puncak piramida hukum (Groundnorm), di mana peraturan yang di bawahnya (Urpsprungnorm) harus sesuai dengan dan dijiwai oleh yang di atasnya. Sehingga, peraturan-peraturan yang tidak selaras dengan jiwa Pancasila harus batal demi hukum.

Akhirnya, sudah seyogyanya kita meyakini keragaman Indonesia sebagai sebuah fakta sejarah dan menghargai berbagai perbedaan yang ada dengan mengembangkan kultur toleransi yang tulus.

Gambar: GEOTIMES