Apakah perempuan Madura selalu identik dengan individu yang lemah? Pertanyaan itu muncul dari keresahan saya, setiap kali membaca artikel ilmiah dengan membahas perempuan Madura. Bagaimana tidak resah, jika perempuan Madura selalu tergambarkan sebagai insan yang menderita.  

Sebenarnya saya tidak mempermasalahkan tentang penggambaran penderitaan perempuan Madura. Saya sebagai orang Madura juga merasakan beberapa aspek kehidupan  yang membuat perempuan Madura menderita. Sederhananya saja, saat saya pernah melihat kekerasan rumah tangga. Sehingga, membuat istrinya mengalami kerugian fisik. Atau suami yang sering merebut kepemilikan istrinya dengan dalil sebagai kepala keluarga.

Setidaknya, pengalaman melihat penderitaan perempuan Madura dengan mata sendiri, menjadi pendukung tulisan artikel ilmiah yang menjelaskan jika kehidupan perempuan Madura terkurung dalam derita. Tetapi, selama saya membaca artikel ilmiah perihal perempuan Madura, belum melihat pembahasan tentang keistimewaan perempuan Madura.  Terdapat tiga aspek yang terlupakan dari keistimewaan perempuan Madura.

Cantik itu Tidak Mahal

Jika ada yang mengatakan kalau cantik itu harus putih, maka berbanding terbalik dengan wanita Madura. Perempuan Madura mempunyai nilai cantik tersendiri, yaitu “celleng manes”. Artinya, hitam manis. Bagi orang Madura, kecantikan perempuan tidak dilihat dari seberapa putih kulitnya. Sebab, bagi orang Madura, putih justru melambangkan perempuan malas, manja, dan tidak mau bekerja.

Mengapa orang Madura memaknai kulit putih  dengan pandangan negatif? Ini berkaitan dengan faktor geografi dan ekonomi di Madura. Saya pernah membaca penelitian De Jonge, beliau menjelaskan jika geografis di Madura suhunya tinggi. Selain itu, ekonomi orang Madura berorientasi pada nelayan dan petani.

Tidak mengherankan dengan geografis Madura yang panas, akan mempengaruhi perubahan fisik saat seseorang bekerja di luar ruangan. Karenanya, perempuan Madura yang gigih bekerja di laut maupun di tegal, akan memiliki kulit celleng manes. Cukup mudah bagi orang Madura untuk mengetahui perempuan malas dan pekerja keras, hanya dengan melihat warna kulitnya.

Selain itu, wanita Madura tidak membutuhkan perawatan mahal untuk ke salon. Biasanya, mereka hanya menggunakan baddha’ bungkol. Baddha’ bungkol merupakan bedak dari bahan alami dengan berbentuk bulat. Sensasinya dingin saat saya memakai badhha’ bungkol, sehingga sejuk di kulit. Buyut saya pernah bercerita, apabila memakai baddha’ bungkol,  berkhasiat untuk membersihkan dan menghaluskan kulit.

Harga baddha’ bungkol dalam setiap bungkusnya bermacam-macam harganya. Perbedaan harga terjadi akibat pedagang memiliki patokan harga yang berbeda-beda. Tetapi, setahu saya, harganya tidak sampai lebih dari dua puluh ribu.

Cara lain dari wanita Madura untuk merawat tubuhnya, dengan mengkonsumsi jamu. Bahan-bahan jamu bisa diambil secara percuma di pekarangan rumah, mengingat orang Madura suka menanam tanaman yang mempunyai khasiat. Jika tidak memiliki tanaman untuk bahan ramuan jamu, biasanya meminta ke tetangga. Saat meminta, akan diberikan dengan gratis tanpa mengeluarkan uang sepeserpun.

Kegigihan Hidup Perempuan Madura

Wanita Madura selain memiliki kesederhanaan perihal kecantikan, juga memiliki kegigihan menjalani hidup. Saya menyadari kegigihan wanita Madura melalui dua peristiwa.

Peristiwa pertama terjadi saat awal pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Beberapa tetangga saya, ikut menjadi korban dari keganasan Covid-19. Menyedihkannya lagi, tatkala ada satu tetangga harus ditinggalkan oleh suaminya karena meninggal dunia. Sehingga, mau tidak mau, istrinya harus melakukan dua beban berat, merawat anak dan mencari nafkah.

Beberapa kali, saya melihat tetangga saya yang ditinggal suaminya, harus pergi bekerja saat pagi hari. Bahkan, harus menyiapkan keperluan sekolah anaknya terlebih dahulu sebelum berangkat bekerja. Bagi saya, bukan pekerjaan mudah mendidik anak. Apalagi harus memikul beban untuk pemenuhan ekonomi keluarga.

Sedangkan untuk peristiwa kedua, terjadi saat saya melintasi daerah pesisir di Madura, tepatnya salah satu daerah di Sampang. Saya  melihat lalu lalang para perempuan membantu suaminya mengangkut ikan dari hasil tangkapannya di laut. Ikan-ikan hasil tangkapan, dibawa langsung ke pasar untuk diperjual belikan oleh istrinya. Baginya, panas matahari dan kebisingan kendaraan, bukan menjadi halangan untuk mengais rezeki.

Saya pernah sekali menanyakan ke salah satu pedagang perempuan saat berbelanja barang. Saya mengajukan pertanyaan, “Bu, tidak capek panas-panasan berjualan ikan di sini?” Jawabannya membuat saya tersentak, “Suami saya saja rela menerjang ombak dan melawan dinginnya angin malam untuk mencari ikan. Masak saya harus bermalas-malasan di rumah.”

Keinginan Belajar yang Kuat

Selain gigih dalam aspek ekonomi, wanita Madura memiliki kemauan tinggi untuk belajar. Kemauannya untuk belajar tercerminkan saat rela berpisah jauh dengan orang tua untuk mengenyam pendidikan di perantauan. Bahkan, beberapa anak perempuan sejak berusia belia sudah mondok di luar Madura. Keinginannya untuk mencari syafaat pengetahuan lebih kuat daripada kesedihannya jauh dengan orang tua.

Bahkan, ketangguhan wanita Madura untuk mencari ilmu pengetahuan di perantauan terjadi sampai usia dewasa. Kota Surabaya, Malang, Yogyakarta, dan Jakarta menjadi destinasi utama untuk mengenyam pendidikan perguruan tinggi. Ini bagi saya menjadi perjalanan spiritual yang mengagumkan. Kenapa? Karena mengingat orang Madura memiliki penilaian buruk sebagai etnis terbelakang.

Kendati stigma sebagai etnis terbelakang sudah melekat, wanita Madura tidak menghiraukannya untuk terus belajar di tanah rantau. Ada teman perempuan saya yang berkuliah di Yogya dan Malang sempat bercerita tentang kenestapaannya selama berkuliah. Mereka bercerita pernah dianggap remeh selama berkuliah. Bahkan, ada pertanyaan dari temannya yang nyelekit di hati, “Kamu di sini mau belajar atau mau carok?”

Meski teman perempuan saya pernah mengalami ketidaknyamanan perilaku selama berkuliah di perantauan, mereka mengaku tidak memikirkannya terlalu dalam. Yang mereka pikirkan hanya satu, yaitu cara untuk mendapatkan ilmu bermanfaat selama di tanah rantau.

Dari pemaparan singkat tentang keistimewaan wanita Madura, kita bisa belajar bahwa kehidupan perempuan tidak sederhana. Kehidupan perempuan serupa dengan laki-laki, memiliki penderitaan, sekaligus keistimewaan. Lantas, bagaimana wanita Madura bisa keluar dari penderitaannya?

Editor: Ciqa

Gambar: Google